Minggu, 16 Agustus 2015
(lu)HUT KEMERDEKAAN INDONESIA
Aidil Aulya
Tulisan ini bisa diartikan dari berbagai
macam sudut. Jangan anggap tulisan ini menyerang seorang pribadi yang sangat
berpengaruh dan punya peranan besar di Indonesia hari ini, Luhut Binsar
Panjaitan. Sama sekali tidak..!!! judul tulisan ini bisa dibaca sebagai akronim
dari “Lubang” di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Lubang yang
dimaksudkan adalah semacam noktah hitam atau noda yang terjadi menjelang
momentum perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Negara ini punya ribuan momentum
yang setiap kali momentum demi momentum itu datang para pengamat dan para ahli
selalu berkata, “ini pintu masuk untuk melakukan perbaikan”. Namun sangat
disayangkan dari berbagai macam momentum tersebut, yang ada hanya
pernyataan-pernyataan retoris nan normatif dan juga hanya bualan dikala masyarakat
insomnia memikirkan beban hidup di negara “kaya” ini. Kekayaan apa yang tidak
dimiliki Indonesia? Mulai dari kekayaan sumber daya alam sampai kepada kekayaan
masalah beban kehidupan. Bukankah ini juga merupakan kekayaan??? Bukankah beban
kehidupan mengajarkan bangsa Indonesia untuk menjadi petarung yang tangguh?
Atau hanya bisa menjadikan kita larut dalam keluhan-keluhan masalah kehidupan.
Negara Indonesia merupakan catatan panjang
dari perjuangan bangsa ini. Semua orang yang mengerti sejarah pasti akan
sepakat dengan pernyataan bahwa negara ini lahir dari semangat persatuan dan
kebangsaan yang kuat. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam golongan,
bangsa, ras, suku, dan agama, mampu membuat komitmen kebangsaan bersama dan
menamakan komitmen itu dengan NKRI. Komitmen kebangsaan yang bernama NKRI
itulah yang menjadi tali pengikat (kalimatun sawa’) antar berbagai
perbedaan. Tali pengikat komitmen kebangsaan Indonesia dibuhul dengan simpul
yang sangat elastis dan plastis. Elastis dalam arti kata fleksibel dan bisa
menerima segala macam perbedaan, sedangkan plastis dengan arti kata mudah
dibentuk dan diarahkan sesuai dengan kemauan “rakyat”. Tali pengikat ini bisa
kita sebut dan namakan secara sederhana sebagai rasa nasionalisme. Nasionalisme
dalam konteks ini bukan nasionalisme yang berbentuk aliran, tapi nasionalisme
yang disandarkan dalam artian sifat.
Jika rasa nasionalisme ini dihilangkan dan
atau disengaja untuk dihilangkan, maka ini merupakan suatu modal yang cukup
besar untuk menghancurkan komitmen awal bernegara di Nusantara ini, yaitu NKRI.
Rongrongan demi rongrongan terhadap NKRI bisa muncul dari dua faktor, internal
dan eksternal. Pertama, faktor eksternal atau faktor dari luar. Faktor
eksternal diantaranya adalah munculnya ideologisasi atau doktrinasi yang
menyatakan bahwa negara global tidak lagi mempunyai batasan geografis (borderless).
Hal ini disebabkan oleh adanya impor ideologi transnasional yang ingin
menyatukan tatanan dunia menjadi satu poros. Biasanya faktor eksternal ini
masuk dari isu agama dan keyakinan yang menyatakan bahwa dimanapun dan siapapun
orangnya, dia harus tunduk pada sesuatu yang diberi julukan sebagai Khalifah
dan menamakan sistemnya sebagai Khilafah. Tidak hanya itu, agenda setting
dari negara lain dan lembaga-lembaga asing juga harus diperhatikan dengan
seksama. Terkadang agenda intelijen negara lain yang punya kepentingan di Indonesia
akan mengusahakan berbagai cara agar rasa nasionalisme bangsa Indonesia menjadi
terkikis. Bisa jadi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ideologi
keagamaan, ideologi ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Kedua, adanya faktor internal yang
menyebabkan terkikisnya rasa bangga ber-NKRI dan rasa bela negara yang mulai
melemah. Beberapa hari ini kita dikejutkan dengan tiga peristiwa beruntun. Pertama,
Adanya pengibaran bendera GAM di Lhokseumawe, Aceh yang dilakukan oleh salah
seorang anggota DPRK. Pengibaran bendera GAM ini dilakukan bertepatan dengan
peringatan hari perdamaian Aceh yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada
tanggal 15 Agustus 2005. Peristiwa ini mengingatkan luka lama panas dinginnya
hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat. Peristiwa di Aceh ini tidak perlu
terjadi manakal rasa bangga ber-NKRI telah tertanam dan menghujam kuat tanpa
disekat oleh batas dan kepentingan daerah masing-masing. Rasa nasionalisme
tidak bleh kalah oleh ego dan kebanggaan tribalisme atau daerahisme bahkan sukuisme
tertentu. Kedua, peristiwa pemakaian atribut PKI di Pamekasan dalam kegiatan
karnaval menyambut HUT RI. Hal ini tentu sangat membingungkan, terlebih lagi
ditambah dengan keterangan Kodim Pamekasan yang mengaku kecolongan. Hal ini
tidak boleh terjadi jika semua masyarakat menyadari dan membuka tabir sejarah
bagaimana kelamnya sejarah komunis di Indonesia. Menurut pemikiran saya, tidak
ada tempat untuk komunisme dan berbagai ideologi utopisnya di negara Pancasila
ini. Pancasila merupakan kekayaan ideologi yang murni digali dari kearifan
lokal Indonesia. Ketiga, peristiwa pelarangan pengibaran bendera Merah Putih di
kampung Rawa Biru, Merauke. Pelarangan ini dilakukan di wilayah NKRI oleh
tentara Papua Nugini. Bagi saya pribadi, peristiwa ketiga merupakan tamparan
keras bagi Indonesia yang seolah-olah tidak mampu berdaulat di negara sendiri. Untuk
mendirikan Bendera Merah Putih di tanah air kita saja, kita masih di intervensi
oleh negara lain. Apakah ini artinya merdeka dan berdaulat? Tentu tidak. Peristiwa
demi peristiwa tersebut juga bisa saja merupakan agenda setting dari luar. Namun
dalam hal ini saya ber-“husnudzon” bahwa hal itu disebabkan oleh menipisnya
rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia tidak boleh hanya
menjadi teatrikal tahunan yang hampa makna. Peringatan 17 Agustus jangan sampai
tercerabut dari akar dan spirit zamannya. Setiap bangsa Indonesia harus mampu
merefleksikan arah dan tujuan kita bernegara dengan cara dan kemampuannya
masing-masing. Tidak hanya elemen bangsa pinggiran (baca: Masyarakat) yang
harus mengusung semangat kemerdekaan yang begitu heroik tersebut. Elemen bangsa
langitan (baca: Pemerintah) juga harus mampu memberi contoh bagaimana merdeka
100 persen (meminjam istilah Tan Malaka). Pemerintah harus serius berpikir
mengenai kedaulatan bangsa Indonesia di segala bidang. Teladan yang lebih
khusus lagi harus diberikan oleh Presiden selaku kepala negara dan kepala
pemerintahan di Indonesia. Presiden juga harus merdeka dari intervensi pihak
manapun. Baik itu intervensi orang dekat, partai pendukung, dan intervensi dari
negara asing. Presiden harus menyontohkan bagaimana menjadi pribadi yang
merdeka seutuhnya. Jangan sampai terbelenggu oleh kekuatan Luhut Panjaitan yang
seolah-olah menjadi The Real President misalnya. Mudah-mudahan hal ini
tidak terbukti walaupun indikasinya sangat kuat.
Terakhir, saya ingin menekankan kata-kata “kerja”
yang berulangkali dihembuskan oleh Sang Presiden. Kabinetnya dinamakan Kabinet “kerja”
dan dalam pidato kenegaraannya di gedung DPR juga diulang kata-kata “kerja,
kerja, kerja”. Kata-kata “kerja” ini tidak boleh dilecehkan dengan
memasukkannya sebagai pemanis ucapan di depan media. Kata-kata itu harus
dibuktikan dengan tindakan dan program-program riil untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Jangan sampai kata-kata itu jadi kehilangan makna sebagaimana yang diungkapkan
oleh Buya Hamka dalam buku Falsafah Hidup, “jika kerja hanya sekedar kerja,
babi di hutan juga bekerja”. Kerja yang dicanangkan oleh pemerintahan tidak
untuk jangka waktu lima tahun, namun harus abadi terpatri sebagai bentuk
pengabdian kepada masyarakat. Kerja dan kerja itu juga jangan sampai menjadi
domain pekerja asing sebagaimana yang terjadi di Papua dan Banten. Terjadinya eksodus
besar-besaran tenaga kerja Tiongkok ke Indonesia. Mudah-mudahan semua itu
ditujukan kepada masyarakat Indonesia. Ingatlah, untuk merdeka seutuhnya kita
perlu rasa bangga dan cinta yang sangat tinggi terhadap NKRI. Rasa bangga dan cinta
itu yang akan menjadi pendorong kita melakukan hal terbaik untuk kemajuan
bangsa Indonesia. Selamat HUT RI ke-70, semoga Indonesia abadi dan menjadi
negara yang diberkahi sebagaimana yang kita impikan dalam mukaddimah UUD.
Ciputat, 17 Agustus 2015
Aidil Aulya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Mantappp.
Posting Komentar