Politik Kegalauan
Meminjam kegelisahan dari buya Syafi’i Ma’arif yang
pernah menyatakan bahwa, “kalau seandainya di dalam alquran ada perintah untuk
pesimis, maka saya orang pertama yang akan melaksanakan perintah tersebut” (Syafi’i
Ma’arif: 2004). Ungkapan dari buya ini merupakan sebuah reaksi kekecewaannya melihat
realitas politik. Sama halnya dengan buya, kekecewaan dan pesimistis yang
berarah kepada apatisme pribadi bisa saja menghampiri setiap relung rakyat Indonesia
yang melihat realitas politik dan akutnya permasalahan bangsa. Permasalahan bangsa
yang demikian hebat seringkali ditutupi dengan hiasan pencitraan para elit
dengan berbagai aksi sirkusnya. Ada yang berpola sirkus blusukan, sirkus
pembekuan, sirkus tandingan, dan sirkus “topeng monyet” yang bertujuan
menghadirkan pro rakyat dalam bentuknya yang semu.
Sedemikian hebatnya para elit pengambil keputusan
memainkan masing-masing perannya, sehingga masyarakat tidak lagi bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Fanatisme relawan buta akan
berkata, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh paduka pasti baik, padahal
hanya “terlihat” baik. Dalam konsep dramaturgi kehidupan, yang mana setiap
orang akan memainkan peran sebagai aktor di dalam kehidupan nyata, sudah tidak
jelas lagi aktor seperti apa yang sedang diperankan oleh pengambil kebijakan
kita. Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya satu pribadi yang memainkan
peran ganda, bahkan bisa jadi satu orang tokoh memainkan lima karakter yang
berbeda. Bisa saja menampilkan karakter budayawan, pengamat, informan,
penyeimbang, dan bahkan karakter ustad. Tapi substansinya tetap satu,
menciptakan kondisi ekstasi bagi masyarakat bahwa semuanya terlihat baik.
Di tengah arus politik yang serba terlihat baik ini,
terkadang daya nalar kritis dimatikan oleh pencitraan dan konstruksi kekuatan
media. Bagaimana tidak, media sudah masuk dalam setiap fase kegiatan individu. Persebaran
media dan kekuatannya terus-menerus melakukan fase cuci otak (brain washing)
yang secara tidak langsung mencoba mengkamuflase informasi untuk kepentingan
pihak tertentu. Di era keterbukaan informasi seperti ini, media menggantikan
posisi Tuhan dalam mengukur antara yang benar dan yang salah. Jika media
mencitrakan baik, maka baiklah sesuatu. Namun sebaliknya, jika media mencitrakan
jelek maka jeleklah sesuatu.
Kegalauan politik dipengaruhi oleh kekuatan seorang
pengambil kebijakan dalam memahami dan mengenali kekuatan media. Bisa jadi
keputusan politik yang diambilnya salah dan terkesan mengada-ada, tapi polesan “Tuhannya
Demokrasi” (baca: Media) bisa menjadikan keputusan tersebutlah yang terbaik. Seolah-olah
media bisa berkata, kun fayakun....
Kebijakan politik kenaikan harga BBM yang baru
berlangsung dua episode bisa menjadi bahan perbandingan kegalauan politik. Episode
pertama terjadi pada tanggal 18 November 2014, dimana presiden menetapkan
kebijakan kenaikan harga bbm. Postulat yang digunaka sangat klasik, berdasarkan
referensi kitab-kitab kuno cara mengumumkan kenaikan harga bbm yang dipoles
dengan wajah pro rakyat. Pidato yang ringkas, penuh wibawa dan bertampang pro
rakyat, namun sarat dengan muatan alibi semu. Ini kutipan pidato Presiden
ketika menaikkan harga bbm:
Dari waktu ke
waktu kita sebagai bangsa kerap dihadapkan pada pilihan sulit. Meski demikian
kita harus memilih dan mengambil keputusan. Hari ini setelah melalui
serangkaian pembahasan di sidkabpar, di kementrian teknis, di kemenko
perekonomian dan di rapat terbatas di istana, pemerintah memutuskan untuk
melakukan pengalihan subsidi BBM dari sektor konsumtif ke sektor-sektor
produktif. Selama ini negara membutuhkan anggaran untuk membangun infrastruktur
untuk membangun pendidikan dan kesehatan. Namun anggaran ini tidak tersedia
karena dihamburkan untuk subsidi BBM. Sebagai konsekuensi dari pengalihan
subsidi tersebut saya selaku Presiden RI menetapkan harga BBM baru yang akan
berlaku pukul 00.00 WIB, terhitung sejak tanggal 18 November 2014.
Harga premium
ditetapkan dari Rp6500 menjadi Rp8.500. Harga solar ditetapkan dari Rp5500
menjadi Rp7500. Untuk rakyat kurang mampu disiapkan perhitungan sosial berupa
paket, kartu keluarga sejahtera, kartu Indonsia Sehat, kartu Indonesia pintar,
yang dapat dapat untuk menjaga daya beli rakyat dan memulai usaha-usaha di
sektor ekonomi produktif. Pasti akan bermunculan pendapat yang setuju dan tidak
setuju. Pemerintah sangat menghargai setiap masukan-masukan. Semoga keputusan
pengalihan subsidi ke arah sektor produktif ini merupakan jalan terbuka untuk
menghadirkan anggaran belanja yang lebih bermanfaat bagi masyarakat Indonesia
secara keseluruhan. Demikian yang saya sampaikan.
Pada episode pertama ini, ketika presiden berpidato
yang saya pikirkan adalah wajah para politisi dan ketua partai yang dulu paling
revolusioner menolak kebijakan harga bbm. Kemana mereka? Apakah sekarang memang
saatnya diam disaat kebijakan sudah pro rakyat? Tak lebih tak kurang alasan ini
sangat klasik dan alasan seperti ini jugalah yang membuat mereka dulunya
berteriak lantang menolak kenaikan harga bbm. Episode kedua dari serial bbm
terjadi ketika pemerintah menurunkan kembali harga premium. Dari dua episode
ini substansinya tetap sama, membinggungkan...
Dalam fase konsolidasi demokrasi Indonesia, harusnya
pengambil kebijakan politik tidak lagi galau dan latah mengambil kebijakan. Kasus
selanjutnya setelah ada peristiwa, lalu tiba-tiba latah mengeluarkan kebijakan
dan seolah-olah harus memperbaiki sistem. Apakah sistem itu diketahui rusak baru
setelah sekian nyawa melayang? Hal ini bisa dilihat dari pasca terjadinya kasus
“kecelakaan” Air Asia. Apakah menterinya latah, atau memang menterinya sedang
lelah atau lagi galau?? Entahlah, tapi bagi orang awam seperti saya melihat itu
kelatahan kebijakan.
Dari dua kasus kebijakan presiden dan menterinya
tersebut, kita bisa melihat tipologi politisi “rabun ayam”, yang hanya melihat
dalam kacamata jarak dekat. Kebijakan tidak dikaji secara komprehensif agar
menjadi kebijakan jangka panjang. Kepentingan politisi rabun ayam, hanya
mengamankan pencitraan diri sesaat agar tidak “dihukum” oleh media dan
masyarakat. Parahnya lagi, tipologi politisi rabun ayam masih ditambah lagi
dengan politisi kacamata kuda yang hanya melihat dari satu sudut pandang...
Harusnya kegalaun dalam pengambilan kebijakan tidak
perlu terjadi, jika memang orang itu ahli dalam bidangnya dan memang punya
maksud baik untuk negara ini. Tapi, menentukan maksud baik memang tidak semudah
menentukan kopi dan teh.
Membangun Optimisme Personal dan Komunitas
Karena perintah mengenai pesimis tidak pernah muncul di
dalam alquran, maka kewajiban kita sebagai muslim harus tetap memiliki
optimisme di tengah kegalauan para pengambil kebijakan. Kita harus tetap
melangkah optimis dihadapan sikap narsistik para politisi yang lebih menekankan
citra. Kita berusaha menyibak realitas dan melakukan transformasi positif
setelah mengetahui kalau adanya pseudo realitas.
Rasa optimisme itu akan muncul jika diawali dengan
munculnya sebuah kesadaran. Kesadaran itu tidak cukup kalau hanya dirasakan
oleh personal. Kesadaran personal harus ditransformasikan agar menjadi
kesadaran komunal. Kesadaran komunal akan bertransformasi menjadi kesadaran
nasional dan akan berkembang menjadi otokritik yang positif bagi pengambil
kebijakan. Kesadaran itu hanya bisa terbangun jika dayar nalar kritis tidak
dimatikan dan terus berkembang. Kritis saja tidak cukup jika tidak dilengkapi
dengan transformasi gagasan yang lebih baik. Sekarang tidak lagi zamannya
mengkritik tanpa kompromi.
Kesadaran personal yang kuat harus ditularkan agar
menjadi kesadaran komunal, sehingga mengakar di komunitas tertentu. Kesadaran yang
dibutuhkan bukan kesadaran di saat tidak sadar. Kesadaran dalam keadaan tidak
sadar yang dimaksudkan adalah, baru sadar jika hal itu merugikan personalnya
atau komunitasnya atau sifatnya mikro. Kalau kesadaran terbangun seperti itu,
itu artinya baru kesadaran dalam fase ketidaksadaran. Kesadaran yang perlu
ditularkan adalah bahwa kita sadar bahwa Negara Indonesia perlu berbenah. Bangsa
Indonesia harus cepat bangun dari pseudo demokrasi yang dibalut dengan
pencitraan. Pencitraan yang dilegitimasi oleh “Tuhannya Demokrasi”.
Kalau kesadaran kolektif itu muncul, kita baru bisa
optimis, Indonesia akan menjadi negara yang berwibawa dan bisa memakmurkan
rakyatnya. Namun jika kita tidak mampu membangun kesadaran kolektif, jangan
harap cita-cita kebangsaan kita dapat terwujud.
Wallahu a’lam...
Aidil Aulya
Ciputat, 12 Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar