“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan” - Immanuel Kant - "sebuah catatan ringan buah peradaban." by: Aidil#

Minggu, 11 Januari 2015

Membaca Kegalauan Negara yang Sedang Lelah



Politik Kegalauan
Meminjam kegelisahan dari buya Syafi’i Ma’arif yang pernah menyatakan bahwa, “kalau seandainya di dalam alquran ada perintah untuk pesimis, maka saya orang pertama yang akan melaksanakan perintah tersebut” (Syafi’i Ma’arif: 2004). Ungkapan dari buya ini merupakan sebuah reaksi kekecewaannya melihat realitas politik. Sama halnya dengan buya, kekecewaan dan pesimistis yang berarah kepada apatisme pribadi bisa saja menghampiri setiap relung rakyat Indonesia yang melihat realitas politik dan akutnya permasalahan bangsa. Permasalahan bangsa yang demikian hebat seringkali ditutupi dengan hiasan pencitraan para elit dengan berbagai aksi sirkusnya. Ada yang berpola sirkus blusukan, sirkus pembekuan, sirkus tandingan, dan sirkus “topeng monyet” yang bertujuan menghadirkan pro rakyat dalam bentuknya yang semu.
Sedemikian hebatnya para elit pengambil keputusan memainkan masing-masing perannya, sehingga masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Fanatisme relawan buta akan berkata, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh paduka pasti baik, padahal hanya “terlihat” baik. Dalam konsep dramaturgi kehidupan, yang mana setiap orang akan memainkan peran sebagai aktor di dalam kehidupan nyata, sudah tidak jelas lagi aktor seperti apa yang sedang diperankan oleh pengambil kebijakan kita. Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya satu pribadi yang memainkan peran ganda, bahkan bisa jadi satu orang tokoh memainkan lima karakter yang berbeda. Bisa saja menampilkan karakter budayawan, pengamat, informan, penyeimbang, dan bahkan karakter ustad. Tapi substansinya tetap satu, menciptakan kondisi ekstasi bagi masyarakat bahwa semuanya terlihat baik.
Di tengah arus politik yang serba terlihat baik ini, terkadang daya nalar kritis dimatikan oleh pencitraan dan konstruksi kekuatan media. Bagaimana tidak, media sudah masuk dalam setiap fase kegiatan individu. Persebaran media dan kekuatannya terus-menerus melakukan fase cuci otak (brain washing) yang secara tidak langsung mencoba mengkamuflase informasi untuk kepentingan pihak tertentu. Di era keterbukaan informasi seperti ini, media menggantikan posisi Tuhan dalam mengukur antara yang benar dan yang salah. Jika media mencitrakan baik, maka baiklah sesuatu. Namun sebaliknya, jika media mencitrakan jelek maka jeleklah sesuatu.
Kegalauan politik dipengaruhi oleh kekuatan seorang pengambil kebijakan dalam memahami dan mengenali kekuatan media. Bisa jadi keputusan politik yang diambilnya salah dan terkesan mengada-ada, tapi polesan “Tuhannya Demokrasi” (baca: Media) bisa menjadikan keputusan tersebutlah yang terbaik. Seolah-olah media bisa berkata, kun fayakun....
Kebijakan politik kenaikan harga BBM yang baru berlangsung dua episode bisa menjadi bahan perbandingan kegalauan politik. Episode pertama terjadi pada tanggal 18 November 2014, dimana presiden menetapkan kebijakan kenaikan harga bbm. Postulat yang digunaka sangat klasik, berdasarkan referensi kitab-kitab kuno cara mengumumkan kenaikan harga bbm yang dipoles dengan wajah pro rakyat. Pidato yang ringkas, penuh wibawa dan bertampang pro rakyat, namun sarat dengan muatan alibi semu. Ini kutipan pidato Presiden ketika menaikkan harga bbm:

Dari waktu ke waktu kita sebagai bangsa kerap dihadapkan pada pilihan sulit. Meski demikian kita harus memilih dan mengambil keputusan. Hari ini setelah melalui serangkaian pembahasan di sidkabpar, di kementrian teknis, di kemenko perekonomian dan di rapat terbatas di istana, pemerintah memutuskan untuk melakukan pengalihan subsidi BBM dari sektor konsumtif ke sektor-sektor produktif. Selama ini negara membutuhkan anggaran untuk membangun infrastruktur untuk membangun pendidikan dan kesehatan. Namun anggaran ini tidak tersedia karena dihamburkan untuk subsidi BBM. Sebagai konsekuensi dari pengalihan subsidi tersebut saya selaku Presiden RI menetapkan harga BBM baru yang akan berlaku pukul 00.00 WIB, terhitung sejak tanggal 18 November 2014.
Harga premium ditetapkan dari Rp6500 menjadi Rp8.500. Harga solar ditetapkan dari Rp5500 menjadi Rp7500. Untuk rakyat kurang mampu disiapkan perhitungan sosial berupa paket, kartu keluarga sejahtera, kartu Indonsia Sehat, kartu Indonesia pintar, yang dapat dapat untuk menjaga daya beli rakyat dan memulai usaha-usaha di sektor ekonomi produktif. Pasti akan bermunculan pendapat yang setuju dan tidak setuju. Pemerintah sangat menghargai setiap masukan-masukan. Semoga keputusan pengalihan subsidi ke arah sektor produktif ini merupakan jalan terbuka untuk menghadirkan anggaran belanja yang lebih bermanfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Demikian yang saya sampaikan.

Pada episode pertama ini, ketika presiden berpidato yang saya pikirkan adalah wajah para politisi dan ketua partai yang dulu paling revolusioner menolak kebijakan harga bbm. Kemana mereka? Apakah sekarang memang saatnya diam disaat kebijakan sudah pro rakyat? Tak lebih tak kurang alasan ini sangat klasik dan alasan seperti ini jugalah yang membuat mereka dulunya berteriak lantang menolak kenaikan harga bbm. Episode kedua dari serial bbm terjadi ketika pemerintah menurunkan kembali harga premium. Dari dua episode ini substansinya tetap sama, membinggungkan...
Dalam fase konsolidasi demokrasi Indonesia, harusnya pengambil kebijakan politik tidak lagi galau dan latah mengambil kebijakan. Kasus selanjutnya setelah ada peristiwa, lalu tiba-tiba latah mengeluarkan kebijakan dan seolah-olah harus memperbaiki sistem. Apakah sistem itu diketahui rusak baru setelah sekian nyawa melayang? Hal ini bisa dilihat dari pasca terjadinya kasus “kecelakaan” Air Asia. Apakah menterinya latah, atau memang menterinya sedang lelah atau lagi galau?? Entahlah, tapi bagi orang awam seperti saya melihat itu kelatahan kebijakan.
Dari dua kasus kebijakan presiden dan menterinya tersebut, kita bisa melihat tipologi politisi “rabun ayam”, yang hanya melihat dalam kacamata jarak dekat. Kebijakan tidak dikaji secara komprehensif agar menjadi kebijakan jangka panjang. Kepentingan politisi rabun ayam, hanya mengamankan pencitraan diri sesaat agar tidak “dihukum” oleh media dan masyarakat. Parahnya lagi, tipologi politisi rabun ayam masih ditambah lagi dengan politisi kacamata kuda yang hanya melihat dari satu sudut pandang...
Harusnya kegalaun dalam pengambilan kebijakan tidak perlu terjadi, jika memang orang itu ahli dalam bidangnya dan memang punya maksud baik untuk negara ini. Tapi, menentukan maksud baik memang tidak semudah menentukan kopi dan teh.

Membangun Optimisme Personal dan Komunitas
Karena perintah mengenai pesimis tidak pernah muncul di dalam alquran, maka kewajiban kita sebagai muslim harus tetap memiliki optimisme di tengah kegalauan para pengambil kebijakan. Kita harus tetap melangkah optimis dihadapan sikap narsistik para politisi yang lebih menekankan citra. Kita berusaha menyibak realitas dan melakukan transformasi positif setelah mengetahui kalau adanya pseudo realitas.
Rasa optimisme itu akan muncul jika diawali dengan munculnya sebuah kesadaran. Kesadaran itu tidak cukup kalau hanya dirasakan oleh personal. Kesadaran personal harus ditransformasikan agar menjadi kesadaran komunal. Kesadaran komunal akan bertransformasi menjadi kesadaran nasional dan akan berkembang menjadi otokritik yang positif bagi pengambil kebijakan. Kesadaran itu hanya bisa terbangun jika dayar nalar kritis tidak dimatikan dan terus berkembang. Kritis saja tidak cukup jika tidak dilengkapi dengan transformasi gagasan yang lebih baik. Sekarang tidak lagi zamannya mengkritik tanpa kompromi.
Kesadaran personal yang kuat harus ditularkan agar menjadi kesadaran komunal, sehingga mengakar di komunitas tertentu. Kesadaran yang dibutuhkan bukan kesadaran di saat tidak sadar. Kesadaran dalam keadaan tidak sadar yang dimaksudkan adalah, baru sadar jika hal itu merugikan personalnya atau komunitasnya atau sifatnya mikro. Kalau kesadaran terbangun seperti itu, itu artinya baru kesadaran dalam fase ketidaksadaran. Kesadaran yang perlu ditularkan adalah bahwa kita sadar bahwa Negara Indonesia perlu berbenah. Bangsa Indonesia harus cepat bangun dari pseudo demokrasi yang dibalut dengan pencitraan. Pencitraan yang dilegitimasi oleh “Tuhannya Demokrasi”.
Kalau kesadaran kolektif itu muncul, kita baru bisa optimis, Indonesia akan menjadi negara yang berwibawa dan bisa memakmurkan rakyatnya. Namun jika kita tidak mampu membangun kesadaran kolektif, jangan harap cita-cita kebangsaan kita dapat terwujud.
Wallahu a’lam...

Aidil Aulya
Ciputat, 12 Januari 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver