Sabtu, 14 September 2013
Arus Balik Politik Ulama
Peranan ulama dalam masyarakat
dewasa ini tidak bisa hanya dipandang dalam perspektif keagamaan saja. Ulama
bisa menjadi satu poros kekuatan dalam usaha percepatan civil society di
Indonesia. Posisi strategis yang diperoleh ulama tidak bisa dianggap karena
mereka adalah tokoh masyarakat dalam bidang religiusitas saja. Namun ulama
dipandang sebagai sosok yang menjadi penyejuk di tengah hiruk pikuk masalah
hukum dan politik bangsa ini. Namun hal ini berubah tatkala konstelasi politik
yang mulai masuk dalam arena pertarungan praktis. Posisi ulama yang seharusnya
menjadi penengah panasnya konstelasi politik, bisa saja terseret dalam arus
pragmatis yang ditawarkan oleh partai politik. Maka tidak heran apabila dalam
mimbar atau pengajian keagamaan sekalipun, kita mendengar adanya mimbar politik
tersembunyi. Pertanyaannya adalah, apakah ulama diharuskan berpolitik secara
praktis, atau hanya menjadi penengah dalam kontestasi politik?
Pertanyaan
itu bisa kita analisis menggunakan dua asumsi. Asumsi pertama, apabila ulama
diharuskan berpolitik secara praktis, maka muncul stigma dalam masyarakat bahwa
semua yang disampaikan oleh para ulama mempunyai muatan ideologi politik
tertentu. Stigma negatif seperti ini wajar muncul karena kontestasi politik
tidak mengenal win-win solution, yang ada hanya win-win. Sama halnya ketika
seorang petarung memasuki kolosium untuk bertarung, maka yang terpikirkan
adalah cara untuk menang. Nah, saya mengibaratkan kontestasi politik merupakan
sebuah kolosium pertarungan yang hanya memikirkan bagaimana caranya untuk
menang. Dalam konteks asumsi yang pertama seperti ini, bisa saja seorang ulama
menggunakan logika-logika agama untuk membawa mainstream ideologi kepentingan
politiknya. Dalam sejarah nusantara sebagaimana yang ditulis oleh Azyumardi
Azra dalam disertasinya, bagaimana seorang ulama besar, Abd Rauf al-Sinkili dituduh
melakukan kompromi integritas intelektual keagamaannya ketika ditanya tentang
kepemimpinan perempuan, namun dia tidak menjawab dengan jelas. Jawaban yang
tidak jelas dari Al-Sinkili karena berhadapan dengan status quo aceh yang pada
waktu dipimpin oleh seoaran Sulthanah Zakiyyah al-Din. Artinya al-Sinkili tidak
mau memberikan jawaban secara jelas karena itu berhubungan dengan keadaan
politik yang dipimpin oleh seorang perempuan. Sekali lagi, apabila ulama
langsung masuk dalam politik praktis, maka skeptisasi masyarakat terhadap fatwa
ulamapun akan terjadi.
Asumsi
kedua adalah, apabila ulama hanya berfungsi sebagai poros penengah dalam kancah
kontestasi politik, maka keadaan perpolitikan akan menjadi kering karena diisi
oleh kecendrungan mainstream politik yang sama tanpa ada pembeda. Dalam dua
asumsi yang sama-sama tidak menguntungkan ulama ini, maka harus ada solusi
cerdas. Sebenarnya dalam kilas balik sejarah Indonesia, dua asumsi yang kita
gunakan ini langsung terbantahkan. Ulama mempunyai peranan politik yang sangat
vital dalam penyusunan dasar negara. Misalnya adalah peranan yang dipegang oleh
KH. Wahid Hasyim dan H. Agus Salim. Mereka adalah ulama yang berpolitik dengan
integritas kellimuan dan kemapanan pemahaman yang menjadi mainstream penyejuk
di tengah panasnya arus perbedaan pendapat yang terjadi.
Langganan:
Postingan (Atom)