Minggu, 11 Januari 2015
Membaca Kegalauan Negara yang Sedang Lelah
Politik Kegalauan
Meminjam kegelisahan dari buya Syafi’i Ma’arif yang
pernah menyatakan bahwa, “kalau seandainya di dalam alquran ada perintah untuk
pesimis, maka saya orang pertama yang akan melaksanakan perintah tersebut” (Syafi’i
Ma’arif: 2004). Ungkapan dari buya ini merupakan sebuah reaksi kekecewaannya melihat
realitas politik. Sama halnya dengan buya, kekecewaan dan pesimistis yang
berarah kepada apatisme pribadi bisa saja menghampiri setiap relung rakyat Indonesia
yang melihat realitas politik dan akutnya permasalahan bangsa. Permasalahan bangsa
yang demikian hebat seringkali ditutupi dengan hiasan pencitraan para elit
dengan berbagai aksi sirkusnya. Ada yang berpola sirkus blusukan, sirkus
pembekuan, sirkus tandingan, dan sirkus “topeng monyet” yang bertujuan
menghadirkan pro rakyat dalam bentuknya yang semu.
Sedemikian hebatnya para elit pengambil keputusan
memainkan masing-masing perannya, sehingga masyarakat tidak lagi bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Fanatisme relawan buta akan
berkata, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh paduka pasti baik, padahal
hanya “terlihat” baik. Dalam konsep dramaturgi kehidupan, yang mana setiap
orang akan memainkan peran sebagai aktor di dalam kehidupan nyata, sudah tidak
jelas lagi aktor seperti apa yang sedang diperankan oleh pengambil kebijakan
kita. Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya satu pribadi yang memainkan
peran ganda, bahkan bisa jadi satu orang tokoh memainkan lima karakter yang
berbeda. Bisa saja menampilkan karakter budayawan, pengamat, informan,
penyeimbang, dan bahkan karakter ustad. Tapi substansinya tetap satu,
menciptakan kondisi ekstasi bagi masyarakat bahwa semuanya terlihat baik.
Di tengah arus politik yang serba terlihat baik ini,
terkadang daya nalar kritis dimatikan oleh pencitraan dan konstruksi kekuatan
media. Bagaimana tidak, media sudah masuk dalam setiap fase kegiatan individu. Persebaran
media dan kekuatannya terus-menerus melakukan fase cuci otak (brain washing)
yang secara tidak langsung mencoba mengkamuflase informasi untuk kepentingan
pihak tertentu. Di era keterbukaan informasi seperti ini, media menggantikan
posisi Tuhan dalam mengukur antara yang benar dan yang salah. Jika media
mencitrakan baik, maka baiklah sesuatu. Namun sebaliknya, jika media mencitrakan
jelek maka jeleklah sesuatu.
Kegalauan politik dipengaruhi oleh kekuatan seorang
pengambil kebijakan dalam memahami dan mengenali kekuatan media. Bisa jadi
keputusan politik yang diambilnya salah dan terkesan mengada-ada, tapi polesan “Tuhannya
Demokrasi” (baca: Media) bisa menjadikan keputusan tersebutlah yang terbaik. Seolah-olah
media bisa berkata, kun fayakun....
Kebijakan politik kenaikan harga BBM yang baru
berlangsung dua episode bisa menjadi bahan perbandingan kegalauan politik. Episode
pertama terjadi pada tanggal 18 November 2014, dimana presiden menetapkan
kebijakan kenaikan harga bbm. Postulat yang digunaka sangat klasik, berdasarkan
referensi kitab-kitab kuno cara mengumumkan kenaikan harga bbm yang dipoles
dengan wajah pro rakyat. Pidato yang ringkas, penuh wibawa dan bertampang pro
rakyat, namun sarat dengan muatan alibi semu. Ini kutipan pidato Presiden
ketika menaikkan harga bbm:
Langganan:
Postingan (Atom)