Kamis, 22 Oktober 2015
JOKOWI: ANTARA BEIJING, CITRA, DAN KEGAGALAN
JOKOWI: ANTARA BEIJING, CITRA, DAN KEGAGALAN
Aidil Aulya
Jakarta-Beijing?
Satu tahun pemerintahan Jokowi merupakan ujian dahsyat
bagi kekuatan kita bernegara. Disaat kita sebagai bangsa dihadapkan pada krisis
multidimensi, kita juga dihadapkan pada jalannya roda pemerintahan yang
tersendat. Banyak faktor tentunya yang mengakibatkan tersendatnya pemerintahan
ini. Tapi yang paling difokuskan tentu bukan hanya kemampuan personal seorang
pemimpin. Sistem negara yang berjalan sejak merdeka sampai sekarang tentu juga
belum bisa menjawab kegelisahan dan keresahan kita sebagai bangsa Indonesia. Sistem
yang tidak baik ditambah lagi dengan kapabilitas personal seorang pemimpin yang
juga tidak lebih baik merupakan titik kulminasi kekecewaan.
Kita tidak boleh lupa, tepat tanggal 20 Oktober 2014,
pertama kali dalam sejarah Indonesia pelantikan presiden dibumbui dengan pesta
rakyat yang dipelopori oleh para “relawan”. Penulis pada saat itu juga ikut
menyaksikan bagaimana meriahnya euforia kemenangan yang dihadirkan di acara
tersebut. Ingatan terhadap peristiwa tersebut tidak boleh dilupakan begitu
saja, karena itu pertama kalinya dalam sejarah Indonesia. Presiden baru
disambut bagaikan seorang pejuang yang pulang dari medan perang membawa
kemenangan. Namun, satu tahun telah berlalu, euforia itu sedikit demi sedikit
terkikis oleh bisikan kekecewaan. Memang baru hanya sebatas bisikan, karena
kekecewaan tersebut hanya dilimpahkan di pelbagai forum diskusi dan pembahasan
internal di beberapa gerakan civil society.
Selasa, 29 September 2015
PANCASILA TAK LAGI SAKTI?
PANCASILA TAK LAGI SAKTI?
Aidil Aulya
Pancasila adalah
merupakan nilai fundamental yang diidealisasikan sebagai konsepsi tentang dasar
(falsafah negara), pandangan hidup, dan ideologi kenegaraan. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan pondasi kokoh dan kuat untuk jadi
pijakan semua golongan di Indonesia. Sebagai pandangan hidup dan ideologi
kenegaraan, Pancasila sudah bisa dipastikan sebagai sistem nilai yang mewarnai
gerak langkah dan konsensus bersama masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan
sublimasi kearifan lokal Indonesia yang tergali murni dari pengalaman historis,
sosiologis, dan filosofis bangsa ini.
Dalam pidato di
PBB, Soekarno menyanggah pemikiran Bertrand Russel. Russel menyatakan bahwa
dunia terbagi dalam dua poros pengikut Declaration of American Independence
dan Manifesto Komunis. Soekarno berkata, “dari pengalaman kami sendiri
tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang lebih
cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila.” Jelas bahwa setiap bangsa
memiliki konsepsi dan idealitas masing-masing yang sesuai dengan kondisi,
tantangan, dan karakteristik bangsa tersebut. Negara Indonesia jelas telah
memilih Pancasila sebagai idealitas, konsepsi, dan konsensus kebangsaannya.
Pandangan-pandangan
di atas merupakan bentuk ideal yang seharusnya berlaku dan mestinya terealisasi.
Jalan kemerdekaan yang berliku serta berbagai konstelasi dan dinamika politik
yang terjadi telah membuktikan bahwa Pancasila tidak berjalan seideal itu. Tentu
belum bisa lepas dari memori kolektif bangsa ini, bahwa dulu pernah ada
institusi politik yang memakai tangan militer untuk mencoba mengganti Pancasila
dan mencoba melakukan kudeta berdarah di Indonesia. Adanya pemberontakan
organisasi berideologi keagamaan karena tidak puas dengan Pancasila juga sudah
pernah terjadi. Perdebatan tentang Pancasila yang tak kunjung selesai mengenai
asas tunggal juga sudah dialami. Bahkan, tafsir tunggal Pancasila yang
digunakan sebagai alat hegemoni negara pada masa orde baru juga telah dilewati
bangsa ini.
Artinya konsepsi Pancasila
sudah mendapatkan ujian dan tantangan yang sangat dahsyat, namun masih bertahan
sebagai konsepsi dan konsensus bersama rakyat Indonesia. Pancasila masih
diyakini sebagai penawar yang (tidak?) bisa mengobati permasalahan bangsa. John
Gardner sebagaimana yang dikutip oleh Yudi Latif (Yudi Latif, 2015: 26),
menyatakan bahwa, “tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika
bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya
itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.” Sebuah
peradaban besar, menghendaki adanya dimensi moral untuk menopang peradaban itu.
Indonesia sudah memiliki konsepsi dimensi moral yang ada dalam Pancasila,
artinya Indonesia seharusnya sudah siap menjadi salah satu peradaban besar di
dunia. Dengan semangat keyakinan, apakah Pancasila masih cukup sakti untuk
menopang bangsa ini dari multi degradasi kebangsaan?
Baru-baru ini,
terjadi peristiwa pembantaian sadis terhadap salah seorang warga di Lumajang
karena penolakan tambang pasir di daerah tersebut. Saya yakin dan percaya,
permasalahan tambang seperti ini tidak hanya terjadi di Lumajang. Masih banyak
lagi lokasi tambang yang mengabaikan aspek keadilan bagi masyarakat kecil. Peristiwa
ini merupakan bukti nyata bahwa nilai kemanusiaan sudah hancur lebur dan takluk
di bawah duli kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi yang bercorak individualis
dan kapitalis sudah merongrong kesaktian Pancasila. Pancasila tidak akan atau
sangat sulit sekali dikikis dan diganti dengan kudeta berdarah ala PKI, namun
tantangan-tantangan lain sangat mengkhawatirkan. Peristiwa Lumajang merupakan
salah satu contoh bahwa Pancasila tidak lagi mewarnai kehidupan masyarakat. Jika
peristiwa ini diabaikan, maka Pancasila sudah tidak mampu lagi menjadi kekuatan
positif di tengah perselingkuhan ekonomi dan kekerasan.
Negara (baca:
Pemerintah) juga tidak lagi hadir secara utuh dan menyeluruh sebagai guru
ideologis Pancasilais. Negara hanya menggunakan Pancasila sebagai konsepsi
artifisial dan tidak mengejawantahkannya dalam tataran praktis kepada
masyarakat. Konsepsi tentang Pancasila sekarang, tidak cukup lagi dengan
berbagai seminar (proyek) yang mengatasnamakan “pilar-pilaran” yang digagas
oleh MPR. Yang dibutuhkan dari konsepsi Pancasila sekarang adalah jiwa-jiwa Pancasilais
yang dengan sadar masuk dalam relung para pengambil kebijakan di negara ini. Jangan
terus berjualan citra diri sebagai Pancasilais kalau kebijakan dan prilakunya
sangat kapitalis liberalis atau bahkan komunis. Tidak... sangat tidak cukup
dengan wajah seperti itu saja. Pancasila sebagai ideologi negara (meminjam
istilah Yudi Latif) dapat dikatakan sebagai ideologi integralistik yang
mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan.
Apapun golongan dan
komunitas serta institusinya di negara ini, dia bisa saja mempunyai arah dan
ideologi yang berbeda dengan Pancasila, namun tidak boleh menyalahi dan
menggagahi ideologi Pancasila. Pancasila harus menjadi perekat dan penyatu
berbagai kepentingan bangsa dan golongan. Tidak ada satu partaipun atau satu
keluargapun yang berhak mengklaim sebagai pewaris tunggal Pancasila. Setiap yang
hidup di negara ini harus mewarisi semangat dan kesaktian Pancasila yang
hakiki. Peringatan hari kesaktian Pancasila jangan juga dijadikan sebagai
pemukul gong dendam masa lalu (G30S). Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa
besar yang tidak terbebani dengan sejarah kelam bangsanya. Forgive but not
forgotten..
Manifestasi nilai-nilai
Pancasila harus hadir sebagai kepentingan bersama. Tidak ada kepentingan yang
lebih besar di negara ini kecuali membumikan kembali Pancasila dalam berbagai
aspek kehidupan, sosial, dan politik. Hal ini berguna untuk menghindari tumpang
tindih kepentingan di antara pelbagai golongan. Tumpang tindih kepentingan
antar kelompok hanya akan menjadi parasit yang akan menjadi epidemi perusak
dalam struktur berbangsa dan bernegara.
Kita sudahi
romantisme tentang Pancasila dan kisah heroik perdebatan perumusannya. Hal terpenting
yang harus kita lakukan sekarang adalah mewarisi gagasan-gagasan besar dan idealitas
rumusan Pancasila dalam sikap, aksi dan prilaku kita. Sebagai generasi muda,
kita harus menyiapkan diri sebagai pemegang kendali arah bangsa. Pancasila harus
menjadi ruh konstruktif bukan sebagai mesin destruktif bangsa ini. Pemuda
adalah pemegang impian konsepsi besar Indonesia dan harus bangun mewujudkan
mimpi-mimpi Pancasila.
Langganan:
Postingan (Atom)