“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan” - Immanuel Kant - "sebuah catatan ringan buah peradaban." by: Aidil#

Kamis, 22 Oktober 2015

JOKOWI: ANTARA BEIJING, CITRA, DAN KEGAGALAN

JOKOWI: ANTARA BEIJING, CITRA, DAN KEGAGALAN

Aidil Aulya


Jakarta-Beijing?
Satu tahun pemerintahan Jokowi merupakan ujian dahsyat bagi kekuatan kita bernegara. Disaat kita sebagai bangsa dihadapkan pada krisis multidimensi, kita juga dihadapkan pada jalannya roda pemerintahan yang tersendat. Banyak faktor tentunya yang mengakibatkan tersendatnya pemerintahan ini. Tapi yang paling difokuskan tentu bukan hanya kemampuan personal seorang pemimpin. Sistem negara yang berjalan sejak merdeka sampai sekarang tentu juga belum bisa menjawab kegelisahan dan keresahan kita sebagai bangsa Indonesia. Sistem yang tidak baik ditambah lagi dengan kapabilitas personal seorang pemimpin yang juga tidak lebih baik merupakan titik kulminasi kekecewaan.
Kita tidak boleh lupa, tepat tanggal 20 Oktober 2014, pertama kali dalam sejarah Indonesia pelantikan presiden dibumbui dengan pesta rakyat yang dipelopori oleh para “relawan”. Penulis pada saat itu juga ikut menyaksikan bagaimana meriahnya euforia kemenangan yang dihadirkan di acara tersebut. Ingatan terhadap peristiwa tersebut tidak boleh dilupakan begitu saja, karena itu pertama kalinya dalam sejarah Indonesia. Presiden baru disambut bagaikan seorang pejuang yang pulang dari medan perang membawa kemenangan. Namun, satu tahun telah berlalu, euforia itu sedikit demi sedikit terkikis oleh bisikan kekecewaan. Memang baru hanya sebatas bisikan, karena kekecewaan tersebut hanya dilimpahkan di pelbagai forum diskusi dan pembahasan internal di beberapa gerakan civil society.

Kebijakan-kebijakan yang diambil dalam satu tahun pertama pemerintahan ini sangat tidak populis, terlalu mengada-ada, dan bahkan dianggap hanya ilusi. Kepemimpinan Jokowi hanya bisa menghadirkan ilusi dan permainan polesan media. Bangunan ilusi Jokowi semakin kuat dengan tambahan kekuatan para relawannya di dunia virtual. Siapapun yang mengkritik sang idola, selalu akan mendapatkan penentang yang keras. Entah siapa dan darimana datangnya orang-orang itu? Hiruk pikuk demokrasi sudah tidak cukup lagi di dunia nyata, namun juga menyeret dunia maya. Demokrasi yang selama ini kita dambakan akan semakin jauh dari harapan. Demokrasi telah teracuni dengan distorsi data dan opini media yang kerap kali muncul di berbagai lini, yang nyata ataupun maya.
Pertanyaan yang muncul dari pelbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi adalah, kemana arah bangsa kita ini? Dalam pengamatan sederhana penulis, pemerintahan jokowi dalam satu tahun pertama mencoba membangun kebijakan hubungan luar negeri yang sangat mengejutkan. Kuatnya pola relasi yang dibangun dan terealisasi dalam bentuk kebijakan poros Jakarta-Beijing semakin nyata terlihat. Kasus terbaru, tentu saja proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang akhirnya jatuh ke Tiongkok. Padahal secara teknologi dan jaminan keamanan transportasi, tawaran Jepang jauh lebih baik. Lihat saja data kecelakaan kereta api cepat Tiongkok tersebut. Belum lagi dilihat dan dikritisi dari masalah urgensi pembangunan proyek tersebut. keyakinan penulis, mega proyek ini suatu saat akan menjadi permasalahan besar yang akan menyeret nama-nama besar juga.
Bulan Juni lalu, Menteri BUMN membuat perjanjian kerjasama bantuan pendanaan terhadap sejumlah BUMN di Indonesia dengan BOC (Bank of China). Nilai pinjamannya mencapai US$ 40 miliar, atau sekitar Rp. 520 triliun. Pinjaman dari Tiongkok tidak hanya sampai disitu saja, Garuda Indonesia juga melakukan perjanjian dengan BOC senilai US$ 4,5 miliar, atau sekitar RP. 58 triliun. Pelbagai pinjaman ini juga melibatkan (baca: menggadaikan) tiga bank, Bank Mandiri, BNI, dan BRI. (data-data ini penulis himpun dari pelbagai media). Kita tidak tahu persis dan tepatnya bagaimana isi perjanjian yang dibangun antara Indonesia dan Tiongkok. Jelas ada kompensasi menarik yang didapatkan oleh pemerintahan Tiongkok terhadap pelbagai kerjasama tersebut. Sayangnya kita tidak pernah tahu hidden agendanya. Asumsi yang selama ini beredar, banyaknya pekerja Tiongkok di Banten dan Papua merupakan salah satu konsekuensi perjanjian tersebut. sekali lagi, ini hanya asumsi yang bisa benar dan sangat bisa salah. Semakin jelas dan nyata poros kebijakan luar negeri yang dibangun oleh pemerintahan ini dalam satu tahun. Berita selanjutnya yang akan kita tunggu yaitu hasil kunjungan kerja Jokowi ke Amerika Serikat yang mungkin saja ada hubungannya dengan perpanjangan kontrak Freeport di Papua.
Tentu saja, kerjasama Indonesia dengan negara lain tidak menjadi soal dan permasalahan. Indonesia sebagai bagian dari dunia global tidak mungkin mengisolasi dirinya dari negara-negara lain. Namun, dominasi relasi itu jelas sekali mengarah kepada satu relasi Jakarta-Beijing. Ada apa dan kenapa? Orang awam seperti kita tidak akan mampu menembus pertanyaan ontologis mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil tersebut. Paling memungkinkan bagi kita hanya bisa berdebat dan mencari jawaban-jawaban epistemologis yang baru hanya sebatas asumsi-asumsi.

Jokowi = Akibat vs Akibat Jokowi
Di awal tulisan ini penulis menyatakan kelemahan kita bernegara tentu saja bisa kita runut dari kelemahan sistem bernegara yang kita bangun selama ini. Kelemahan sistem ditambah dengan kapabilitas pemimpin yang hanya seadanya menjadi rumus kekecewaan kolektif. Harapan dan ekspektasi besar yang kita bangun di awal, perlahan namun pasti semakin tergerus oleh kenyataan demi kenyataan yang disajikan. Namun, bisakah semua itu kita tujukan kesalahannya ke Jokowi secara pribadi?
Dalam analisis penulis yang sangat sederhana, fenomena munculnya Jokowi merupakan sebuah akibat dari sebab keterjebakan kita. Setidaknya ada beberapa sebab yang mengakibatkan kita jatuh ke ruang krisis kepercayaan terhadap Jokowi. Pertama, ekspektasi besar yang kita bangun. Jokowi hadir dengan tampilan dan pesona anti tesis dari corak kepemimpinan nasional yang selama ini kita lihat. Jokowi dicitrakan sebagai pemimpin yang anti mainstream, sederhana, dan merakyat. Tentu saja semua orang merindukan pemimpin yang bersahaja seperti itu. Kita terlalu mendambakan presiden seperti Jose Mujica di Uruguay yang mampu mendonasikan 90% gajinya untuk menambah anggaran sosial. Atau seperti Evo Morales di Bolivia yang memotong setengah gajinya untuk menambah dokter dan guru. Imajinasi kita dibawa kepada sosok-sosok pemimpin sederhana. Kesederhanaan Jokowi yang mau masuk ke got-got dan blusukan menjadi citra kuat yang dibangun selama pilpres. Pencitraan itu mampu masuk ke hati 70.997.85 suara (53,15%) pemilih dan memenangkan Jokowi-JK dalam perhelatan pilpres. Ekspektasi besar yang kita bangun ternyata menjebak dan menyebabkan besarnya juga kekecewaan kita. Dalam teori kepemimpinan, seorang pemimpin itu harus mempunyai kapasitas lebih dari yang dipimpinnya. Tidak mungkin memimpikan seekor semut akan memimpin pasukan gajah, kecuali hanya diilustrasikan dalam dongeng dan mitos.
Kedua, keterikatan kepada pemberitaan media. Disadari atau tidak, media berhasil melakukan proses brain washing kepada masyarakat. Peristiwa kecil dan biasa bisa menjadi luar biasa dan dikemas dengan istimewa sehingga menghasilkan citra istimewa. Kepercayaan yang terlalu berlebihan terhadap media menjadikan pikiran terdistorsi dan akibatnya menentukan arah pilihan politik. Kata-kata istimewa dari tulisan Seno Gumira Ajidarma yang sangat membekas bagi penulis, “percayalah, pengelola media sama bodohnya dengan kita” (Seno Gumira Ajidarma, 2015: 199). Media mengkonstruksi citra dan masyarakat terhanyut dengan konstruksi tersebut. Namun sayangnya, terdapat hubungan tidak simetris antara citra dan realitas yang dihadirkan. Akhirnya masyarakat terkurung dalam realitas-realitas semu.
Ketiga, defisit demokrasi substansial. Jokowi hadir akibat adanya defisit demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang selama ini kita impikan masih berjalan di tempat, bahkan mengalami involusi. Buruknya kaderisasi partai menyebabkan tidak terakomodirnya orang-orang yang secara kompetensi, kapabilitas, dan integritas sudah teruji dan mumpuni. Akhirnya partai hanya akan memilih orang yang menjadi media darling untuk berkontestasi dalam perhelatan politik.  Ditambah lagi dengan tidak adanya proses rejunevasi politik. Proses rejunevasi di partai politik yang tidak berjalan mengakibatkan masih bertahannya elit lama yang berwajah baru. Demokrasi atau revolusi sekalipun tidak akan bermakna jika pemain kuncinya masih elit-elit lama. Jokowi hadir akibat dari kegagalan membangun proses peremajaan tokoh dan negarawan bangsa yang dapurnya ada di partai-partai politik. Partai politik merupakan sebuah elemen penting penguatan suatu negara. Jadi jangan lakukan deparpolisasi di Indonesia karena bisa merusak tatatanan politik kita yang saudah rusak. Namun partai-partai yang ada juga harus berbenah sesegera mungkin agar tidak lagi mengulang kesalahan yang sama dan mengakibatkan hal yang sama seperti sekarang.
Keempat, para pemikir dan kaum intelektual mulai tercerabut dari akarnya. Politik itu membutuhkan legitimasi para intelektual dalam menentukan arah dan orientasi besarnya. Dalam roman Arok Dedes, Pramoedia menyebutkan agenda politik apapun dan bagaimanapun harus membutuhkan legitimasi intelektual. Diamnya para intelektual dan para pemikir melihat distorsi realitas merupakan sebab munculnya Jokowi sebagai pemimpin. Intelektual tidak harus menjauhi politik, namun juga jangan terkotori dengan pilihan politik. Sangat paradoks dan dilematis memang pilihannya. Namun yang terpenting untuk diingat adalah tujuan berpolitik. Politik menurut Aristoteles (Robertus Robet, 2007: 7) diartikan sebagai upaya untuk mencapai eudaemonia (hidup baik). Kaum intelektual juga harus mengambil bagian serta berperan aktif sebagai warga polis, karena berpolitik merupakan realisasi dari tujuan-tujuan mulia dalam hidup manusia.
Dari empat postulat yang penulis susun, penulis menyimpulkan jika Jokowi hanyalah akibat. Dia bukan sebab terjadinya berbagai krisis kebangsaan yang melanda kita. Ini bukan kesimpulan satir, namun kenyataan pahit yang harus diterima. Masih ada empat tahun lagi jalannya pemerintahan ini untuk berbenah. Jangan sampai terulang lagi tragedi politik jatuhnya presiden di Indonesia. Tentu kita tidak menginginkan itu. Namun jika pemerintah dan Jokowi tidak berbenah, maka kesempatan itu terbuka lebar. Komulasi dari kekecewaan bisa memantik api revolusi. Jangan lupa juga, kebijakan-kebijakan setahun ini dari Jokowi menyisakan ranting-ranting yang tersulut api di jalan-jalan revolusi.


Ruang kontemplasi sunyi

Ciputat, 22 Oktober 2015

1 komentar:

ymalian mengatakan...

Menarik, sahabatku..
Tetaplah berkarya dengan analisismu!
Semogakan pula, kita tetap tersesat dijalan yang benar. :)

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver