Sabtu, 02 November 2013
Pengurus “bayangan”
Adam Wise menulis sebuah buku dengan judul invisible government (pemerintah
bayangan). Di dalam bukunya dia menjelaskan tentang peranan CIA dalam
memberikan arahan terhadap negara lain. Tidak hanya sekedar arahan semata, tapi
CIA bermaksud menjadi pemerintahan bayangan di negara-negara lain. Perdebatan mengenai
hal ini sangat populer dikalangan masyarakat dan kaum intelektual ketika
terjadi peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Ketika itu orang
beranggapan bahwa konstelasi politik yang terjadi di Indonesia adalah by
design dari Amerika Serikat. Namun terlepas dari sejarah masa lalu dan
perdebatan yang cukup hangat dalam dunia intelijen, disadari atau tidak,
pemerintah bayangan itu ada.
Pemerintah bayangan tidak saja dilekatkan kepada pemerintah negara secara
formal, tetapi juga dalam setiap hal yang berkaitan dengan sebuah asosiasi atau
perkumpulan. Sebut saja misalnya dalam sebuah organisasi, akan selalu ada pengurus
bayangan yang diluar struktur, namun tetap mempengaruhi struktural yang legal. Dalam
teori kepemimpinan, biasanya hal ini disebut dengan kepemimpinan formal dan
kepimpinan non formal. Biasanya pemimpin non formal ini dianggap sebagai orang punya pengaruh kuat
atau punya daya upaya untuk mempengaruhi kepemimpinan formal. Namun, dalam
menyebut pemimpin non formal, saya menggunakan logika pengaruh positif. Artinya
kepemimpinan non formal dalam hal ini punya pengaruh positif yang mendapatkan
peranan kunci (key position) terhadap organisasi. Dalam hal ini kalau
kita menelaah buku yang ditulis oleh Adam Wise, tentu yang dimaksud adalah
pemerintah bayangan dalam artian negatif. Pemerintah yang memberikan perintah pemerintah
yang formal dan mendesain sebuah kejadian dan hanya menghendaki kepentingan
kelompok atau pribadi tertentu.
Sabtu, 14 September 2013
Arus Balik Politik Ulama
Peranan ulama dalam masyarakat
dewasa ini tidak bisa hanya dipandang dalam perspektif keagamaan saja. Ulama
bisa menjadi satu poros kekuatan dalam usaha percepatan civil society di
Indonesia. Posisi strategis yang diperoleh ulama tidak bisa dianggap karena
mereka adalah tokoh masyarakat dalam bidang religiusitas saja. Namun ulama
dipandang sebagai sosok yang menjadi penyejuk di tengah hiruk pikuk masalah
hukum dan politik bangsa ini. Namun hal ini berubah tatkala konstelasi politik
yang mulai masuk dalam arena pertarungan praktis. Posisi ulama yang seharusnya
menjadi penengah panasnya konstelasi politik, bisa saja terseret dalam arus
pragmatis yang ditawarkan oleh partai politik. Maka tidak heran apabila dalam
mimbar atau pengajian keagamaan sekalipun, kita mendengar adanya mimbar politik
tersembunyi. Pertanyaannya adalah, apakah ulama diharuskan berpolitik secara
praktis, atau hanya menjadi penengah dalam kontestasi politik?
Pertanyaan
itu bisa kita analisis menggunakan dua asumsi. Asumsi pertama, apabila ulama
diharuskan berpolitik secara praktis, maka muncul stigma dalam masyarakat bahwa
semua yang disampaikan oleh para ulama mempunyai muatan ideologi politik
tertentu. Stigma negatif seperti ini wajar muncul karena kontestasi politik
tidak mengenal win-win solution, yang ada hanya win-win. Sama halnya ketika
seorang petarung memasuki kolosium untuk bertarung, maka yang terpikirkan
adalah cara untuk menang. Nah, saya mengibaratkan kontestasi politik merupakan
sebuah kolosium pertarungan yang hanya memikirkan bagaimana caranya untuk
menang. Dalam konteks asumsi yang pertama seperti ini, bisa saja seorang ulama
menggunakan logika-logika agama untuk membawa mainstream ideologi kepentingan
politiknya. Dalam sejarah nusantara sebagaimana yang ditulis oleh Azyumardi
Azra dalam disertasinya, bagaimana seorang ulama besar, Abd Rauf al-Sinkili dituduh
melakukan kompromi integritas intelektual keagamaannya ketika ditanya tentang
kepemimpinan perempuan, namun dia tidak menjawab dengan jelas. Jawaban yang
tidak jelas dari Al-Sinkili karena berhadapan dengan status quo aceh yang pada
waktu dipimpin oleh seoaran Sulthanah Zakiyyah al-Din. Artinya al-Sinkili tidak
mau memberikan jawaban secara jelas karena itu berhubungan dengan keadaan
politik yang dipimpin oleh seorang perempuan. Sekali lagi, apabila ulama
langsung masuk dalam politik praktis, maka skeptisasi masyarakat terhadap fatwa
ulamapun akan terjadi.
Asumsi
kedua adalah, apabila ulama hanya berfungsi sebagai poros penengah dalam kancah
kontestasi politik, maka keadaan perpolitikan akan menjadi kering karena diisi
oleh kecendrungan mainstream politik yang sama tanpa ada pembeda. Dalam dua
asumsi yang sama-sama tidak menguntungkan ulama ini, maka harus ada solusi
cerdas. Sebenarnya dalam kilas balik sejarah Indonesia, dua asumsi yang kita
gunakan ini langsung terbantahkan. Ulama mempunyai peranan politik yang sangat
vital dalam penyusunan dasar negara. Misalnya adalah peranan yang dipegang oleh
KH. Wahid Hasyim dan H. Agus Salim. Mereka adalah ulama yang berpolitik dengan
integritas kellimuan dan kemapanan pemahaman yang menjadi mainstream penyejuk
di tengah panasnya arus perbedaan pendapat yang terjadi.
Selasa, 25 Juni 2013
Kenaikan BBM: Antara Sikap Anti Sosial dan Kemunafikan
Kebijakan yang disengaja, lalai, atau pelecehan?
Sidang paripurna pengesahan APBNP 2013 akhirnya
disahkan oleh DPR. Hal yang paling menarik dan ditunggu masyarakat Indonesia
dari pembahasan itu tentu masalah kenaikkan harga BBM yang dipastikan naik.
Tentu kenaikan harga BBM subsidi menjadi sebuah hantu sosial bagi masyarakat
kalangan bawah. Efek domino dari kenaikan harga BBM akan berimbas pada kenaikan
seluruh sektor harga komoditas barang, jasa, dan transportasi. Kebijakan ini
diakui secara politis ataupun secara sosial sebagai kebijakan yang tidak
populer. Namun dibalik ketidak populeran kebijakan kenaikan harga BBM, masyarakat
harus dihadapkan pada pilihan yang sangat populer, yaitu “kemiskinan”. Situasi seperti
ini bisa kita sebut sebagai fetakompli. Fetakompi (faith a comply)
merupakan situasi dimana kita dihadapkan dan dijebak supaya harus mengikuti
pilihan yang diberikan dengan standarisasi kebenaran yang dipatoknya sendiri.
Keadaan seperti ini mungkin lebih populer dengan sebutan “seperti memakan buah
simalakama”. Alibi sederhana yang dibangun untuk kebijakan yang kenaikan harga
BBM, harga dinaikkan dengan mengurangi subsidi atau anggaran negara bisa jebol
karena terlalu besarnya subsidi BBM.
Kebijakan pengurangan subsidi BBM bisa saja benar
secara ekonomis, legal secara politis, dan sah secara konstitusional. Akan
tetapi menurut penulis, kebijakan ini cacat secara sosial. Bisa juga dikatakan
bahwa kebijakan ini adalah sebuah kebijakan anti sosial (anti-social
behaviour). Kebijakan anti sosial itu adalah prilaku yang kurang
pertimbangan untuk orang lain dan dapat menyebabkan kerusakan pada masyarakat
baik secara sengaja ataupun berdasarkan kelalaian. Naif rasanya untuk
menyebutkan kalau kebijakan yang disetujui oleh 338 anggota DPR itu berdasarkan
kelalaian. Namun terlalu vulgar juga rasanya untuk menyebut para wakil rakyat
memutuskan sebuah kebijakan (policy) yang memang faktanya adalah
tindakan anti sosial. Atau memang benar keduanya antara kelalaian dan
kesengajaan.
Senin, 24 Juni 2013
Syair Mahasiswa Menjambret (Emha Ainun Nadjib)
Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para tetangga, bertanyalah aku kepada penyairku, “Akhir-akhir ini orang makin ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah puisimu tak membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal seperti itu memerlukan puisi?”
“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”
Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.
“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.
“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”
Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.
“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)