Selasa, 25 Juni 2013
Kenaikan BBM: Antara Sikap Anti Sosial dan Kemunafikan
Kebijakan yang disengaja, lalai, atau pelecehan?
Sidang paripurna pengesahan APBNP 2013 akhirnya
disahkan oleh DPR. Hal yang paling menarik dan ditunggu masyarakat Indonesia
dari pembahasan itu tentu masalah kenaikkan harga BBM yang dipastikan naik.
Tentu kenaikan harga BBM subsidi menjadi sebuah hantu sosial bagi masyarakat
kalangan bawah. Efek domino dari kenaikan harga BBM akan berimbas pada kenaikan
seluruh sektor harga komoditas barang, jasa, dan transportasi. Kebijakan ini
diakui secara politis ataupun secara sosial sebagai kebijakan yang tidak
populer. Namun dibalik ketidak populeran kebijakan kenaikan harga BBM, masyarakat
harus dihadapkan pada pilihan yang sangat populer, yaitu “kemiskinan”. Situasi seperti
ini bisa kita sebut sebagai fetakompli. Fetakompi (faith a comply)
merupakan situasi dimana kita dihadapkan dan dijebak supaya harus mengikuti
pilihan yang diberikan dengan standarisasi kebenaran yang dipatoknya sendiri.
Keadaan seperti ini mungkin lebih populer dengan sebutan “seperti memakan buah
simalakama”. Alibi sederhana yang dibangun untuk kebijakan yang kenaikan harga
BBM, harga dinaikkan dengan mengurangi subsidi atau anggaran negara bisa jebol
karena terlalu besarnya subsidi BBM.
Kebijakan pengurangan subsidi BBM bisa saja benar
secara ekonomis, legal secara politis, dan sah secara konstitusional. Akan
tetapi menurut penulis, kebijakan ini cacat secara sosial. Bisa juga dikatakan
bahwa kebijakan ini adalah sebuah kebijakan anti sosial (anti-social
behaviour). Kebijakan anti sosial itu adalah prilaku yang kurang
pertimbangan untuk orang lain dan dapat menyebabkan kerusakan pada masyarakat
baik secara sengaja ataupun berdasarkan kelalaian. Naif rasanya untuk
menyebutkan kalau kebijakan yang disetujui oleh 338 anggota DPR itu berdasarkan
kelalaian. Namun terlalu vulgar juga rasanya untuk menyebut para wakil rakyat
memutuskan sebuah kebijakan (policy) yang memang faktanya adalah
tindakan anti sosial. Atau memang benar keduanya antara kelalaian dan
kesengajaan.
Lalai dalam mengelola Migas dan anggaran negara
sehingga menyebabkan jebolnya anggaran, serta sengaja membuat situasi
fetakompli dengan maksud program perampokan anggaran negara selanjutnya melalui
APBNP. Apa yang penulis maksud dengan program perampokan anggaran negara?
Langkah yang diambil pemerintah untuk mengimbangi kebijakan pengurangan subsidi
salah satunya adalah memberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Nah, dalam konteks program BLSM yang manis dalam tataran retoris seperti ini, akan
berbanding terbalik dengan implementasi di lapangan. Secara politik ini akan
dicurigai sebagai politik uang (money politic) untuk kepentingan kelompok
penguasa atau status quo. Secara sosial program ini seperti semacam
pelecehan sosial kepada masyarakat. Kenapa disebut dengan pelecehan sosial?
Seakan-akan pemerintah menunjukkan kepada masyarakat, penyelesaian masalah itu
harus dengan uang tunai. Ini mungkin semacam penampakan nomena terhadap
fenomena suap dan korupsi yang selama ini terjadi. Begitulah cara pemerintah
menyelesaikan masalah kemiskinan kultural dan struktural pada masyarakat,
“hanya dengan uang 150 ribu”.
Secara historitas, pemberian BLSM seperti ini
tentu tidak pernah sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia. Pada tahun 1948,
Tan Malaka dalam buku Pandangan Hidup, menulis tentang “Indonesia Sederhana”.
Filosofi bangsa Indonesia digambarkan sebagai masyarakat yang mampu survive
dalam keadaan apapun karena bangsa ini adalah bangsa yang mempunyai kekayaan
alam. Lebih lanjut Tan Malaka mengatakan, “dimana
keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, disana tenaga dan otak
penduduk Indonesia menunjukkan juga kesanggupan penuh terhadap segala macam
kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan masyarakat yang
berubah itu”. Nah, pemberian
BLSM yang menjadi intrik pemerintah untuk mengimbangi kebijakan kenaikan BBM
itu menyalahi sejarah nusantara. Bangsa dan masyarakat Indonesia selalu kreatif
dan mandiri dan tidak pernah dididik untuk menjadi masyarakat pengemis. Fakta
sejarah lain mengenai kemandirian bangsa ini ketika Soekarno menolak bantuan
Amerika, dan mengatakan “persetan dengan bantuan kalian” (go to hell for
your aid). Sejarah nusantara menunjukkan bangsa Indonesia bukan bangsa
manja dan bangsa pengemis kini telah dilecehkan secara sosial oleh pemerintah
dengan program BLSM. Tentu kebijakan itu ahistoris dan melecehkan martabat dan
harga diri masyarakat Indonesia.
Kembali
kepada fokus keputusan kenaikan harga BBM, ada semacam paranoid masyarakat
menghadapinya. Waktu keputusan kebijakan ini berdekatan dengan bulan ramadhan,
lebaran, dan tahun ajaran baru. Waktu dimana kebutuhan ekonomi masyarakat
biasanya meningkat tajam. Dalam persoalan timing seperti inilah
pemerintah patut diduga mengidap penyakit anti sosial terhadap masyarakat.
Sengaja atau lalai, harus diakui bahwa kebijakan ini akan membuat angka
kemiskinan meningkat tajam. Kemiskinan akan berimbas pada patologi sosial
seperti kriminalitas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan
ketergantungan pada pihak lain. Sebuah harga mahal yang harus dibayar oleh
sebuah kebijakan yang dianggap pro(yek) rakyat.
Pro rakyat atau kemunafikan?
Sisi lain yang menarik untuk dicermati adalah
mekanisme kenaikan harga BBM. Sebelum kebijakan ini disahkan secara paripurna,
terdapat perpecahan dari kubu setgab (pemerintah) tentang kebijakan ini. Salah
satu partai koalisi yang juga bagian integral dari pemerintah, menolak kenaikan
harga BBM. Menurut penulis, dalam menikmati dagelan ini, logika awam
kita akan ditantang apakah penolakan ini benar-benar pro rakyat, atau sebuah
kemunafikan politik sebagai instrumen pencitraan? Apabila yang menolak punya
maksud baik terhadap rakyat dan yang mendukung juga punya maksud baik, maka
maksud baik mana yang benar-benar baik? Maksud baik tidak mungkin bertentangan
dengan maksud baik, bukan?
Cerita lain dibalik kenaikan harga BBM ini adalah
dianggarkannya bantuan untuk Lapindo sebanyak 155 Milliyar dalam APBNP 2013.
Hal ini sulit untuk tidak dihubungkan dengan deal politik antara Golkar
dan Demokrat. Melihat fakta ini, maka alasan jebolnya anggaran pemerintah tidak
begitu kuat secara sosiologis dan etika. Belum lagi melihat sidang paripurna
yang dihiasi dengan perilaku kekanak-kanakan (childish) anggota DPR. Ketika
pengambilan voting muncul teriakan, celetukan, sindiran, dan tertawa renyah
antar fraksi. Seolah-olah mereka tidak serius membahas permasalahan ini.
Sedangkan di luar parlemen, elemen masyarakat dan mahasiswa dengan penuh
idealisme meneriakkan suara hati rakyat. Maka menjadi wajar kita membenarkan
pernyataan keras Gus Dur Dur dulu yang menyebutkan anggota DPR seperti taman
kanak-kanak bahkan play group.
Melihat sikap yang seperti itu, paripurna tentang
pembahasan APBNP tidak lain dari ajang pencitraan yang seolah-olah pro rakyat,
namun berselimut kemunafikan. Terlepas dari kebijakan itu benar atau salah,
secara sosial etika parlemen tidak menunjukkan sikap sekumpulan negarawan yang
benar-benar berpikir untuk rakyat. Dan di sisi lain, pemerintah telah berhasil
mengungkap nomena dari fenomena anti sosial yang selama ini digunakannya. Sudah
saatnya masyarakat berpikir kritis terhadap kata-kata pro rakyat yang diucapkan
politisi. Sederhana namun miris, kata pro rakyat ternyata bermakna kemunafikan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar