Jumat, 21 Agustus 2015
MENCARI IDENTITAS
MENCARI
IDENTITAS
Aidil Aulya
Diskursus mengenai identitas dikaitkan dengan rasa khawatir
lunturnya nasionalisme dan identitas nasional. Hal ini bisa jadi diakibatkan
oleh pengaruh media massa dan sistem informasi global dengan segala janji,
harapan, dan gairah yang ditawarkan. Perbincangan mengenai identitas tidak
hanya diperebutkan dari front politis (ideologi politik kiri, ideologi kanan,
ataupun ideologi lainnya), namun juga disebabkkan adanya motivasi yang berbeda.
Bisa saja perebutan identitas itu mempunyai motif gender, etnisitas, rasialitas,
suku, dan agama. Perebutan identitas yang semacam itu akan selalu mendapatkan
tantangan yang serius dari sisi kondisi riil masyarakat Indonesia yang memang
plural. Jika hal ini tidak diperhatikan dan tidak ditimbang segala kemungkinannya,
maka perebutan identitas semakin meruncing.
Menurut Jonathan Rutherford (Jonathan Rutherford, 1990: 10), identitas
merupakan satu mata rantai masa lalu dengan hubungan sosial, kultural, dan
ekonomi di dalam ruang dan waktu satu masyarakat hidup. setiap invidu merupakan
sintesis dari masa lalu dan masa sekarang dan segala hubungan-hubungannya. Jika
kita menggunakan pendekatan definitif sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rutherford, maka bisa disimpulkan bahwa identitas hari ini merupakan bentukan
sosio kultural dan politik masa lalu yang bermetamorfosis menjadi identitas
sekarang. Namun definisi yang diberikan Rutherford seolah-olah mengabaikan
adanya sebab-sebab terjadinya pengaburan identitas karena faktor lain. Namun
kita juga tidak bisa menafikan apa yang telah disimpulkannya tentang identitas.
Masih banyak definisi lain yang diberikan oleh para Ahli tentang identitas,
namun saya hanya akan beranjak dari tesis yang diajukan oleh Rutherford ini. Tesis
yang dibangunnya menandakan adanya korelasi antara masalalu dan masa sekarang
dalam pembentukan identitas suatu bangsa.
Pertanyaan paling fundamental bagi kita sekarang adalah, apa
identitas kita sebagai bangsa Indonesia? Pertanyaan ini tentu tidak bisa
dijawab dengan identitas simbolis seperti sarungan, peci, jubah, atau apapun
yang berbentuk simbol. Jawaban yang diisyaratkan dengan simbolitas tertentu
akan memenjarakan kita pada perdebatan yang tidak aka ada habisnya. Identitas nasional
yang diharapkan adalah spesifikasi karakter kebangsaan yang tangguh dan sesuai
dengan semangat ruh Pancasila. Tentu tidak mudah melakukan abstraksi karakter
seperti ini. Bisa diuraikan namun tidak bisa diberi indikator yang pasti
tentang identitas seperti ini. Identitas merupakan suatu pembeda antara satu
individu dengan individu lainnya, antara bangsa satu dengan bangsa lainya. Unsur
pembedanya bisa saja menggunakan teori diferensi dalam sistem kapitalis. Dalam sistem
kapitalisme, diferensi merupakan pembedaan objek berdasaikan nilainya melalui
bentuk dan makna sosial yang dikandungnya. Sayangnya pembedaan objek di dalam
kapitalis lebih kepada pemaknaan secara materiil.
Perubahan tata politik Indonesia dari zaman Orde Baru menjadi
Reformasi merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kita. Reformasi ditandai
dengan sistem politik yang kita kenal dengan demokrasi. Demokrasi dipandang dalam sosiologi sebagaimana yang dijelaskan
oleh Jurgen Habermas (Jurgen Habermas, 1996: 329) bahwa demokrasi akan
menciptakan ruang publik (publik sphere). Terbukanya ruang publik
sebagai konsekuensi demokrasi akan menyebabkan terjadinya kontestasi wacana
dari gerakan-gerakan sosial dan masyarakat atau yang disebut dengan kekuatan
sosial (social power). Jika teori Habermas ini dielaborasi lebih jauh
lagi, maka yang terjadi tidak hanya kontestasi wacana namun juga kontestasi
identitas semu berupa simbol. Demokrasi sebagai sebuah sistem yang dibutuhkan (necessary
condition) untuk menciptakan ruang kontestasi segala macam identitas.
Keterbukaan ruang publik ini akan menjadi ancaman internal
tersendiri jika tidak diimbangi oleh kesadaran nasional yang tinggi. pertarungan
simbol itu tidak hanya menunjukkan euforia terhadap simbol tertentu, namun
kadangkala juga bermuatan ideologi. Jika pertentangan ini terus meruncing maka
ditakutkan akan terjadi sesuatu yang disebut oleh J.F Lyotard sebagai disensus.
Disensus merupakan istilah khusus yang digunakan oleh Lyotard untuk menjelaskan
ketidakmungkinan dicapainya konsensus diantara berbagai pihak yang berbeda. Hal
ini disebabkan oleh adanya perbedaan aturan main, paradigma dan cara pandang. Bisa
jadi kontestasi simbolitas di Indonesia jika dibiarkan akan berada pada tahap
disensus. Jika semua daerah dan semua golongan menonjolkan identitas
masing-masing, maka ancaman disintegrasi nasional akan semakin nyata.
Indonesia sebagai negara sudah sampai pada usia 70 tahun. Kalau Indonesia
dianalogikan menjadi seorang manusia, maka apa yang terjadi pada manusia yang
berumur 70 tahun? Kekuatan yang sudah mulai hilang, daya tahan yang sudah mulai
rapuh, dan memori yang sudah mulai pudar. Bisa saja seperti itu. Apakah 70
tahun Indonesia juga merupakan usia senja dan menunggu sisa-sisa kehidupan
sebelum moksa dengan tanah? Saya harap analoginya tidak seperti itu. Indonesia
sebagai negara dalam rentang 70 tahun merupakan cerminan masa depan yang lebih
prospektif dan cerah. Indonesia tidak boleh termakan usia dalam rentang usia
berapapun. Semakin lama Indonesia eksis dalam peradaban Indonesia, harusnya
semakin memantapkan diri sebagai pusat laboratorium peradaban dunia. Di sisi
lain, jika kita jeli memikirkan sisi yang berbeda, ada paradoks lainnya yang
juga harus dipikirkan. Terhitung sejak reformasi sampai sekarang, Indonesia sudah
memasuki usia 17 tahun demokrasi. Jika kita kembali menganalogikan menjadi
seorang manusia, maka usia 17 tahun merupakan usia yang labil. Hal itu mungkin
kita rasakan bersama. Dalam usia 17 tahun demokrasi, Indonesia dilanda berbagai
macam kelabilan dan “kegenitan” dalam berdemokrasi. Kegenitan dalam berdemokrasi
inilah salah satu penyebab pudarnya identitas nasional kita. Karena kegenitan
dalam berdemokrasi maka muncullah, pengamat-pengamat genit dan konsultan genit
yang semakin memperkeruh keadaan.
Biasanya ada dua hal yang dilakukan dalam pencarian identitas. Pertama,
melakukan dekonstruksi terhadap identitas yang ada. Bukan dekonstruksi dalam
artian sempit Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa sehingga
menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Lebih dari
itu itu, yaitu melakukan pembongkaran terhadap identitas tradisi-tradisi lama
dan menggantinya dengan identitas baru tanpa makna akhir. Artinya dia selalu
berada dalam proses being (berada) yang akan terus berproses tanpa harus
menjadi (becoming). Kedua, dengan cara bertamasya ke masa lalu (pastiche).
Pengembaraan ke masa lalu akan berujung pada euforia berlebihan terhadap masa
lalu dan menganggap kembali ke masa lalu adalah pilihan terbaik dalam memilih
identitas kebangsaan. Munculnya berbagai simbol masa lalu seperti maraknya
simbol PKI akhir-akhir ini merupakan bentuk pastiche. Hal ini disebabkan
karena adanya krisis identitas sebagai bangsa Indonesia. Dua hal dalam
pencarian identitas ini tentu sama-sama paradoks dan bukan pilihan terbaik. Keduanya
mengandung resiko yang tidak sedikit.
Bagi saya, identitas kebangsaan kita tidak perlu lagi dicari. Karena
tidak pernah hilang ataupun tercecer oleh peradaban. Sebagai bangsa Indonesia,
identitas kita adalah jiwa Pancasila. Namun yang diharapkan adalah mereposisi Pancasila
agar tidak hanya menjadi simbol tak bernyawa.
Nyawa dari pancasila adalah setiap individu Indonesia yang kokoh
menanamkan nilai-nilai pancasila dalam kepribadiannya dan dalam membangun
relasi sosial antar individu sesama bangsa Indonesia. Tidak hanya itu,
Pancasila harus juga menjadi jiwa dalam roda pemerintahan dalam mengambil
keputusan apapun dan menjalin relasi dengan negara manapun. Itulah hakikat
sejatinya bernegara dan berbangsa Indonesia menurut saya. Bisa jadi saya salah
dalam menyimpulkan, tapi anggaplah ini sebagai refleksi kita bersama dalam memperbaiki
konsensus bersama membangun Indonesia.
Ciputat, 21
Agustus 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar