“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan” - Immanuel Kant - "sebuah catatan ringan buah peradaban." by: Aidil#

Jumat, 21 Agustus 2015

MENCARI IDENTITAS

MENCARI IDENTITAS
Aidil Aulya

Diskursus mengenai identitas dikaitkan dengan rasa khawatir lunturnya nasionalisme dan identitas nasional. Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh pengaruh media massa dan sistem informasi global dengan segala janji, harapan, dan gairah yang ditawarkan. Perbincangan mengenai identitas tidak hanya diperebutkan dari front politis (ideologi politik kiri, ideologi kanan, ataupun ideologi lainnya), namun juga disebabkkan adanya motivasi yang berbeda. Bisa saja perebutan identitas itu mempunyai motif gender, etnisitas, rasialitas, suku, dan agama. Perebutan identitas yang semacam itu akan selalu mendapatkan tantangan yang serius dari sisi kondisi riil masyarakat Indonesia yang memang plural. Jika hal ini tidak diperhatikan dan tidak ditimbang segala kemungkinannya, maka perebutan identitas semakin meruncing.
Menurut Jonathan Rutherford (Jonathan Rutherford, 1990: 10), identitas merupakan satu mata rantai masa lalu dengan hubungan sosial, kultural, dan ekonomi di dalam ruang dan waktu satu masyarakat hidup. setiap invidu merupakan sintesis dari masa lalu dan masa sekarang dan segala hubungan-hubungannya. Jika kita menggunakan pendekatan definitif sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rutherford, maka bisa disimpulkan bahwa identitas hari ini merupakan bentukan sosio kultural dan politik masa lalu yang bermetamorfosis menjadi identitas sekarang. Namun definisi yang diberikan Rutherford seolah-olah mengabaikan adanya sebab-sebab terjadinya pengaburan identitas karena faktor lain. Namun kita juga tidak bisa menafikan apa yang telah disimpulkannya tentang identitas. Masih banyak definisi lain yang diberikan oleh para Ahli tentang identitas, namun saya hanya akan beranjak dari tesis yang diajukan oleh Rutherford ini. Tesis yang dibangunnya menandakan adanya korelasi antara masalalu dan masa sekarang dalam pembentukan identitas suatu bangsa.

Pertanyaan paling fundamental bagi kita sekarang adalah, apa identitas kita sebagai bangsa Indonesia? Pertanyaan ini tentu tidak bisa dijawab dengan identitas simbolis seperti sarungan, peci, jubah, atau apapun yang berbentuk simbol. Jawaban yang diisyaratkan dengan simbolitas tertentu akan memenjarakan kita pada perdebatan yang tidak aka ada habisnya. Identitas nasional yang diharapkan adalah spesifikasi karakter kebangsaan yang tangguh dan sesuai dengan semangat ruh Pancasila. Tentu tidak mudah melakukan abstraksi karakter seperti ini. Bisa diuraikan namun tidak bisa diberi indikator yang pasti tentang identitas seperti ini. Identitas merupakan suatu pembeda antara satu individu dengan individu lainnya, antara bangsa satu dengan bangsa lainya. Unsur pembedanya bisa saja menggunakan teori diferensi dalam sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalisme, diferensi merupakan pembedaan objek berdasaikan nilainya melalui bentuk dan makna sosial yang dikandungnya. Sayangnya pembedaan objek di dalam kapitalis lebih kepada pemaknaan secara materiil.
Perubahan tata politik Indonesia dari zaman Orde Baru menjadi Reformasi merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kita. Reformasi ditandai dengan sistem politik yang kita kenal dengan demokrasi. Demokrasi dipandang dalam sosiologi sebagaimana yang dijelaskan oleh Jurgen Habermas (Jurgen Habermas, 1996: 329) bahwa demokrasi akan menciptakan ruang publik (publik sphere). Terbukanya ruang publik sebagai konsekuensi demokrasi akan menyebabkan terjadinya kontestasi wacana dari gerakan-gerakan sosial dan masyarakat atau yang disebut dengan kekuatan sosial (social power). Jika teori Habermas ini dielaborasi lebih jauh lagi, maka yang terjadi tidak hanya kontestasi wacana namun juga kontestasi identitas semu berupa simbol. Demokrasi sebagai sebuah sistem yang dibutuhkan (necessary condition) untuk menciptakan ruang kontestasi segala macam identitas.
Keterbukaan ruang publik ini akan menjadi ancaman internal tersendiri jika tidak diimbangi oleh kesadaran nasional yang tinggi. pertarungan simbol itu tidak hanya menunjukkan euforia terhadap simbol tertentu, namun kadangkala juga bermuatan ideologi. Jika pertentangan ini terus meruncing maka ditakutkan akan terjadi sesuatu yang disebut oleh J.F Lyotard sebagai disensus. Disensus merupakan istilah khusus yang digunakan oleh Lyotard untuk menjelaskan ketidakmungkinan dicapainya konsensus diantara berbagai pihak yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan aturan main, paradigma dan cara pandang. Bisa jadi kontestasi simbolitas di Indonesia jika dibiarkan akan berada pada tahap disensus. Jika semua daerah dan semua golongan menonjolkan identitas masing-masing, maka ancaman disintegrasi nasional akan semakin nyata.
Indonesia sebagai negara sudah sampai pada usia 70 tahun. Kalau Indonesia dianalogikan menjadi seorang manusia, maka apa yang terjadi pada manusia yang berumur 70 tahun? Kekuatan yang sudah mulai hilang, daya tahan yang sudah mulai rapuh, dan memori yang sudah mulai pudar. Bisa saja seperti itu. Apakah 70 tahun Indonesia juga merupakan usia senja dan menunggu sisa-sisa kehidupan sebelum moksa dengan tanah? Saya harap analoginya tidak seperti itu. Indonesia sebagai negara dalam rentang 70 tahun merupakan cerminan masa depan yang lebih prospektif dan cerah. Indonesia tidak boleh termakan usia dalam rentang usia berapapun. Semakin lama Indonesia eksis dalam peradaban Indonesia, harusnya semakin memantapkan diri sebagai pusat laboratorium peradaban dunia. Di sisi lain, jika kita jeli memikirkan sisi yang berbeda, ada paradoks lainnya yang juga harus dipikirkan. Terhitung sejak reformasi sampai sekarang, Indonesia sudah memasuki usia 17 tahun demokrasi. Jika kita kembali menganalogikan menjadi seorang manusia, maka usia 17 tahun merupakan usia yang labil. Hal itu mungkin kita rasakan bersama. Dalam usia 17 tahun demokrasi, Indonesia dilanda berbagai macam kelabilan dan “kegenitan” dalam berdemokrasi. Kegenitan dalam berdemokrasi inilah salah satu penyebab pudarnya identitas nasional kita. Karena kegenitan dalam berdemokrasi maka muncullah, pengamat-pengamat genit dan konsultan genit yang semakin memperkeruh keadaan.
Biasanya ada dua hal yang dilakukan dalam pencarian identitas. Pertama, melakukan dekonstruksi terhadap identitas yang ada. Bukan dekonstruksi dalam artian sempit Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Lebih dari itu itu, yaitu melakukan pembongkaran terhadap identitas tradisi-tradisi lama dan menggantinya dengan identitas baru tanpa makna akhir. Artinya dia selalu berada dalam proses being (berada) yang akan terus berproses tanpa harus menjadi (becoming). Kedua, dengan cara bertamasya ke masa lalu (pastiche). Pengembaraan ke masa lalu akan berujung pada euforia berlebihan terhadap masa lalu dan menganggap kembali ke masa lalu adalah pilihan terbaik dalam memilih identitas kebangsaan. Munculnya berbagai simbol masa lalu seperti maraknya simbol PKI akhir-akhir ini merupakan bentuk pastiche. Hal ini disebabkan karena adanya krisis identitas sebagai bangsa Indonesia. Dua hal dalam pencarian identitas ini tentu sama-sama paradoks dan bukan pilihan terbaik. Keduanya mengandung resiko yang tidak sedikit.
Bagi saya, identitas kebangsaan kita tidak perlu lagi dicari. Karena tidak pernah hilang ataupun tercecer oleh peradaban. Sebagai bangsa Indonesia, identitas kita adalah jiwa Pancasila. Namun yang diharapkan adalah mereposisi Pancasila agar tidak hanya menjadi simbol tak bernyawa.  Nyawa dari pancasila adalah setiap individu Indonesia yang kokoh menanamkan nilai-nilai pancasila dalam kepribadiannya dan dalam membangun relasi sosial antar individu sesama bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, Pancasila harus juga menjadi jiwa dalam roda pemerintahan dalam mengambil keputusan apapun dan menjalin relasi dengan negara manapun. Itulah hakikat sejatinya bernegara dan berbangsa Indonesia menurut saya. Bisa jadi saya salah dalam menyimpulkan, tapi anggaplah ini sebagai refleksi kita bersama dalam memperbaiki konsensus bersama membangun Indonesia.

Ciputat, 21 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver