“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan” - Immanuel Kant - "sebuah catatan ringan buah peradaban." by: Aidil#

Jumat, 26 September 2014

RUU PILKADA: BENTURAN KEPENTINGAN ANTARA RAKYAT DENGAN “RAKYAT”


Parodi Paripurna dan Rasa Humor Anak-Anak
Pengesahan RUU Pilkada kemaren menjadi pusat perhatian bagi masyarakat. Selama proses paripurna, saya sempat berjalan keliling mau beli rokok dan yang menjadi perhatian saya adalah rata-rata masyarakat nonton dan menunggu hasil dari paripurna DPR. Hanya beberapa rumah saja yang saya perhatikan TV nya anti mainstream (tidak ikut-ikutan nonton paripurna DPR). Hehe... Hal ini bagi saya sangat menarik dan fenomena seperti ini menjadi langka. Artinya, ada hiburan gratis bagi masyarakat yang sudah lelah dengan politik caci maki. Sekali-kali butuh hiburan juga lihat boneka lucu-lucu yang bernama DPR. Begitu terfokusnya perhatian masyarakat, sampai-sampai di PM BBM semuanya berkomentar dengan gayanya masing-masing menyoroti paripurna DPR. Saya jadi ingat pernyataan Gus Dur yang begitu fenomenal, DPR seperti taman kanak-kanak. Bukankah mengamati anak-anak merupakan suatu hiburan bagi orang dewasa??? Hehe...
Kembali ke konteks mengenai RUU Pilkada yang disahkan oleh DPR. Menurut saya paripurna kemaren merupakan benturan kepentingan antara rakyat dengan “rakyat”. Kenapa demikian? Lihat saja dari statemen dan rasionalisasi yang dibangun oleh anggota DPR yang mendukung ataupun yang menolak pilkada langsung dan tidak langsung. Semuanya berdalih atas nama, demi, dan untuk kepentingan rakyat. Luar biasa bukan??? Saya jadi teringat dengan syairnya WS Rendra, “maksud baik dan maksud baik saling beradu. Maksud baik tuan untuk siapa?”. Dua kelompok yang bertentangan bisa mengadu dua maksud baik yang saling bertentangan. Begitulah DPR dengan segala maksud baiknya. Menarik juga melihat pimpinan sidang paripurna, Priyo Budi Santoso. Beliau cukup elegan memimpin paripurna krusial ini dan seperti pembina taman kanak-kank mengarahkan anak asuhnya untuk tidak ribut dan tidak berebut show up kepada masyarakat.
Bagi saya yang hanya masyarakat biasa, selalu menunggu paripurna DPR yang membahas isu-isu krusial. Hal ini merupakan tontonan lawakan gratis dan menghibur sehingga kita sebagai masyarakat menjadi lupa sejenak tentang beratnya hidup. Terimakasih anggota DPR dengan segala tingkahnya. Paripurna juga menyisakan cerita, walk out nya fraksi partai Demokrat dari rapat paripurna. Setelah tindakan walk out tersebut Gede Pasek Suardika, salah seorang anggota fraksi demokrat menggunakan bahasa satir untuk membela langkah yang diambil oleh fraksinya.pasek mengatakan, “kami hanya meniru partai senior yang sering walk out dalam paripurna (baca: PDI Perjuangan)”. Bagi saya bahasa-bahasa satir seperti ini cukup menggelikan, apakah ini balas dendam yang sempurna atau hanya retorika tanpa makna? Semua kita bisa menafsirkan macam-macam.

Pilkada langsung atau tidak langsung?
            Hasil dari paripurna yang didapatkan dari voting anggota DPR menyatakan bahwa kepala daerah nantinya akan dipilih oleh DPRD. Hal ini disambut dengan berbagai argumen tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Banyak yang kontra dan tidak sedikit juga yang pro. Keputusan pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak bisa disimplifikasi menjadi pemilihan yang tidak demokratis atau bahkan dengan bahasa ekstrim dianggap mematikan demokrasi. Sebenarnya, Pilkada langsung dan pilkada tidak langsung sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

            Salah satu sisi positif adanya pilkada langsung adalah memunculkan tokoh masyarakat yang mendapatkan legitimasi dan menjaring aspirasi masyarakat dari bawah. Tapi jangan dilupakan juga, tidak sedikit juga kekurangannya. Berdasarkan pengamatan saya selama ini, pilkada tidak langsung bisa mengakibatkan beberapa hal. Pertama, adanya potensi konflik horizontal antara masyarakat yang berbeda pilihan. Banyak kasus yang membuktikan ini, setelah pilkada kelompok yang kalah tidak senang dan melakukan tindakan chaos sebagai pelampiasannya. Kedua, pilkada langsung mengeluarkan cost politik yang begitu besar. Kita tentu masih ingat pilkada Jawa Timur menghabiskan dana hampir 2 Triliun. Belum lagi dana yang dibutuhkan untuk melakukan pencitraan calon kepala daerah. Biaya politik yang tinggi bisa jadi sebagai potensi dasar korupsi kepala daerah yang sudah menghabiskan dana begitu besar untuk suksesi. Hal ini bisa diukur dengan data banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Ketiga, kepala daerah dan wakil yang terpilih hanya mempunyai masa jabatan efektif 4 tahun. Kenapa? Karena tahun terakhir pemerintahannya, biasanya terjadi keretakan hubungan antara kepala daerah dengan wakilnya. Hal ini sering kali disebabkan oleh manuver politik yang dilakukan si kepala daerah ataupun wakilnya untuk merebut simpati masyarakat di pilkada selanjutnya. Keempat, pilkada langsung menyebabkan adanya perasaan berkuasa yang begitu tinggi dari kepala daerah terpilih karena merasa mendapat legitimasi penuh dari masyarakat. Hal ini berakibat kepada hubungan kemitraan antara kepala daerah dan DPRD terganggu. Belum lagi hubungan antara kepala daerah tingkat II (bupati dan walikota) dengan Gubernur. Masing-masing kepala daerah bisa menjadi raja-raja kecil di daerahnya masing-masing tanpa pengawasan yang mumpuni dari DPRD. Kelima, pilkada langsung biasanya membuat faksi-faksi tersembunyi di kalangan PNS di lingkup pemerintahan daerah. PNS yang pada dasarnya tidak boleh berpolitik praktis, akhirnya ditarik dalam spektrum politik dukung mendukung. Setelah pilkada berlangsung, banyak kita lihat PNS yang tidak mendukung kepala daerah terpilih dimutasi atau non job dari jabatannya.
            Saya sempat berseloroh dengan beberapa teman di warung kopi, bahwa pilkada langsung sebenarnya membuka ribuan lowongan pekerjaan bagi para aktivis-aktivis yang mencari nafkah musiman di pilkada. Dengan diputuskannya pilkada melalui DPRD, para aktivis dan konsultan politik musiman menjadi di PHK oleh nasib dan aturan dengan sendirinya. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa pilkada langsung merupakan berkah tersendiri bagi aktivis yang punya modal konsep dan retorika untuk ilmu kanuragan olah-olahnya. Hehehe... (yang merasa tidak perlu marah ya, piss.!!!)
            Fenomena di atas sebenarnya bisa diselesaikan dengan pilihan pilkada melalui DPRD. Namun sama halnya dengan pilkada langsung, banyak catatan yang harus diberikan terhadap pilihan ini. Pertama, pilkada tidak langsung bisa menyebabkan terjadinya politik transaksional antara calon kepala daerah dengan anggota DPRD. Hal ini merupakan kemungkinan paling dekat yang akan terjadi. Jangankan untuk pemilihan kepala daerah, pemilihan Ketua organisasi mahasiswa aja sudah pakai uang ngopi-ngopinya (yang merasa diam aja ya..!!) hehehe. Kedua, pilkada melalui DPRD bisa menjadi penghambat bagi tokoh yang mendapatkan dukungan dari masyarakat, namun tidak mempunyai kendaraan politik untuk melangkah maju mejadi calon kepala daerah.
            Pilkada melalui DPRD bisa menjadi solusi dengan tetap berpaku kepada asas transparansi, akuntabel, dan profesional. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat aturan berkenaan dengan KPU dan panwaslu di masing-masing daerah. KPU dan panwaslu tetap diberikan porsi yang seimbang dan bahkan bisa menjadi mitra DPRD untuk melakukan proses pemilihan mulai dari penjaringan calon sampai kepada mekanisme pemilihan. Apakah pilkada melalui DPRD ini tidak demokratis? Tunggu dulu, jangan terlalu cepat menjustifikasi seperti itu.!! Asas pemusyawaratan dan mufakat perlu ditonjolkan dan ditampilkan sebagai karakteristik masyarakat Indonesia yang pancasilais. Anggota DPRD idealnya merupakan representasi dari pilihan masyarakat. Walaupun terkadang tatanan ideal tidak selalu terwujud, namun bisa diawali dengan memilih anggota DPRD yang ideal dan profesional serta bertanggung jawab. Pemilihan semacam ini kalau kita analogikan dalam bahasa fikihnya, anggota DPRD bisa dianggap sebagai ahlul halli wal aqdi. Kalau aturan mainnya jelas, ketakutan kita untuk kembali ke Orde Baru dengan sistem seperti ini bisa dihilangkan.
            Saya yakin dan percaya apapun keputusanya, RUU Pilkada akan menjadi debatable. Namun prinsip yang harus diambil dari ini semua adalah prinsip addharar yuzal (kemudaratan harus dihilangkan), dan juga berlaku prinsip “mengambil kemudaratan yang paling sedikit dari dua kemudaratan”. Selamat berwacana, Indonesia Berpikir..!!!

Aidil Aulya
Ciputat, 26 September 2014

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver