Ciputat, 26 September 2014
Jumat, 26 September 2014
RUU PILKADA: BENTURAN KEPENTINGAN ANTARA RAKYAT DENGAN “RAKYAT”
Parodi
Paripurna dan Rasa Humor Anak-Anak
Pengesahan RUU
Pilkada kemaren menjadi pusat perhatian bagi masyarakat. Selama proses
paripurna, saya sempat berjalan keliling mau beli rokok dan yang menjadi
perhatian saya adalah rata-rata masyarakat nonton dan menunggu hasil dari
paripurna DPR. Hanya beberapa rumah saja yang saya perhatikan TV nya anti mainstream
(tidak ikut-ikutan nonton paripurna DPR). Hehe... Hal ini bagi saya sangat
menarik dan fenomena seperti ini menjadi langka. Artinya, ada hiburan gratis
bagi masyarakat yang sudah lelah dengan politik caci maki. Sekali-kali butuh
hiburan juga lihat boneka lucu-lucu yang bernama DPR. Begitu terfokusnya
perhatian masyarakat, sampai-sampai di PM BBM semuanya berkomentar dengan
gayanya masing-masing menyoroti paripurna DPR. Saya jadi ingat pernyataan Gus
Dur yang begitu fenomenal, DPR seperti taman kanak-kanak. Bukankah mengamati
anak-anak merupakan suatu hiburan bagi orang dewasa??? Hehe...
Kembali ke
konteks mengenai RUU Pilkada yang disahkan oleh DPR. Menurut saya paripurna
kemaren merupakan benturan kepentingan antara rakyat dengan “rakyat”. Kenapa
demikian? Lihat saja dari statemen dan rasionalisasi yang dibangun oleh anggota
DPR yang mendukung ataupun yang menolak pilkada langsung dan tidak langsung.
Semuanya berdalih atas nama, demi, dan untuk kepentingan rakyat. Luar biasa
bukan??? Saya jadi teringat dengan syairnya WS Rendra, “maksud baik dan maksud
baik saling beradu. Maksud baik tuan untuk siapa?”. Dua kelompok yang
bertentangan bisa mengadu dua maksud baik yang saling bertentangan. Begitulah DPR
dengan segala maksud baiknya. Menarik juga melihat pimpinan sidang paripurna,
Priyo Budi Santoso. Beliau cukup elegan memimpin paripurna krusial ini dan
seperti pembina taman kanak-kank mengarahkan anak asuhnya untuk tidak ribut dan
tidak berebut show up kepada masyarakat.
Bagi saya yang
hanya masyarakat biasa, selalu menunggu paripurna DPR yang membahas isu-isu
krusial. Hal ini merupakan tontonan lawakan gratis dan menghibur sehingga kita
sebagai masyarakat menjadi lupa sejenak tentang beratnya hidup. Terimakasih
anggota DPR dengan segala tingkahnya. Paripurna juga menyisakan cerita, walk
out nya fraksi partai Demokrat dari rapat paripurna. Setelah tindakan walk out
tersebut Gede Pasek Suardika, salah seorang anggota fraksi demokrat menggunakan
bahasa satir untuk membela langkah yang diambil oleh fraksinya.pasek
mengatakan, “kami hanya meniru partai senior yang sering walk out dalam
paripurna (baca: PDI Perjuangan)”. Bagi saya bahasa-bahasa satir seperti ini
cukup menggelikan, apakah ini balas dendam yang sempurna atau hanya retorika
tanpa makna? Semua kita bisa menafsirkan macam-macam.
Pilkada
langsung atau tidak langsung?
Hasil
dari paripurna yang didapatkan dari voting anggota DPR menyatakan bahwa kepala
daerah nantinya akan dipilih oleh DPRD. Hal ini disambut dengan berbagai
argumen tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Banyak yang kontra dan
tidak sedikit juga yang pro. Keputusan pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak
bisa disimplifikasi menjadi pemilihan yang tidak demokratis atau bahkan dengan
bahasa ekstrim dianggap mematikan demokrasi. Sebenarnya, Pilkada langsung dan
pilkada tidak langsung sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Salah
satu sisi positif adanya pilkada langsung adalah memunculkan tokoh masyarakat
yang mendapatkan legitimasi dan menjaring aspirasi masyarakat dari bawah. Tapi
jangan dilupakan juga, tidak sedikit juga kekurangannya. Berdasarkan pengamatan
saya selama ini, pilkada tidak langsung bisa mengakibatkan beberapa hal.
Pertama, adanya potensi konflik horizontal antara masyarakat yang berbeda
pilihan. Banyak kasus yang membuktikan ini, setelah pilkada kelompok yang kalah
tidak senang dan melakukan tindakan chaos sebagai pelampiasannya. Kedua,
pilkada langsung mengeluarkan cost politik yang begitu besar. Kita tentu
masih ingat pilkada Jawa Timur menghabiskan dana hampir 2 Triliun. Belum lagi
dana yang dibutuhkan untuk melakukan pencitraan calon kepala daerah. Biaya
politik yang tinggi bisa jadi sebagai potensi dasar korupsi kepala daerah yang
sudah menghabiskan dana begitu besar untuk suksesi. Hal ini bisa diukur dengan
data banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Ketiga, kepala daerah
dan wakil yang terpilih hanya mempunyai masa jabatan efektif 4 tahun. Kenapa?
Karena tahun terakhir pemerintahannya, biasanya terjadi keretakan hubungan
antara kepala daerah dengan wakilnya. Hal ini sering kali disebabkan oleh
manuver politik yang dilakukan si kepala daerah ataupun wakilnya untuk merebut
simpati masyarakat di pilkada selanjutnya. Keempat, pilkada langsung
menyebabkan adanya perasaan berkuasa yang begitu tinggi dari kepala daerah
terpilih karena merasa mendapat legitimasi penuh dari masyarakat. Hal ini
berakibat kepada hubungan kemitraan antara kepala daerah dan DPRD terganggu.
Belum lagi hubungan antara kepala daerah tingkat II (bupati dan walikota)
dengan Gubernur. Masing-masing kepala daerah bisa menjadi raja-raja kecil di
daerahnya masing-masing tanpa pengawasan yang mumpuni dari DPRD. Kelima,
pilkada langsung biasanya membuat faksi-faksi tersembunyi di kalangan PNS di
lingkup pemerintahan daerah. PNS yang pada dasarnya tidak boleh berpolitik
praktis, akhirnya ditarik dalam spektrum politik dukung mendukung. Setelah
pilkada berlangsung, banyak kita lihat PNS yang tidak mendukung kepala daerah
terpilih dimutasi atau non job dari jabatannya.
Saya
sempat berseloroh dengan beberapa teman di warung kopi, bahwa pilkada langsung
sebenarnya membuka ribuan lowongan pekerjaan bagi para aktivis-aktivis yang
mencari nafkah musiman di pilkada. Dengan diputuskannya pilkada melalui DPRD,
para aktivis dan konsultan politik musiman menjadi di PHK oleh nasib dan aturan
dengan sendirinya. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa pilkada langsung
merupakan berkah tersendiri bagi aktivis yang punya modal konsep dan retorika untuk
ilmu kanuragan olah-olahnya. Hehehe... (yang merasa tidak perlu marah ya,
piss.!!!)
Fenomena
di atas sebenarnya bisa diselesaikan dengan pilihan pilkada melalui DPRD. Namun
sama halnya dengan pilkada langsung, banyak catatan yang harus diberikan terhadap
pilihan ini. Pertama, pilkada tidak langsung bisa menyebabkan terjadinya
politik transaksional antara calon kepala daerah dengan anggota DPRD. Hal ini
merupakan kemungkinan paling dekat yang akan terjadi. Jangankan untuk pemilihan
kepala daerah, pemilihan Ketua organisasi mahasiswa aja sudah pakai uang
ngopi-ngopinya (yang merasa diam aja ya..!!) hehehe. Kedua, pilkada melalui
DPRD bisa menjadi penghambat bagi tokoh yang mendapatkan dukungan dari
masyarakat, namun tidak mempunyai kendaraan politik untuk melangkah maju mejadi
calon kepala daerah.
Pilkada
melalui DPRD bisa menjadi solusi dengan tetap berpaku kepada asas transparansi,
akuntabel, dan profesional. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat aturan
berkenaan dengan KPU dan panwaslu di masing-masing daerah. KPU dan panwaslu
tetap diberikan porsi yang seimbang dan bahkan bisa menjadi mitra DPRD untuk
melakukan proses pemilihan mulai dari penjaringan calon sampai kepada mekanisme
pemilihan. Apakah pilkada melalui DPRD ini tidak demokratis? Tunggu dulu,
jangan terlalu cepat menjustifikasi seperti itu.!! Asas pemusyawaratan dan
mufakat perlu ditonjolkan dan ditampilkan sebagai karakteristik masyarakat
Indonesia yang pancasilais. Anggota DPRD idealnya merupakan representasi dari
pilihan masyarakat. Walaupun terkadang tatanan ideal tidak selalu terwujud,
namun bisa diawali dengan memilih anggota DPRD yang ideal dan profesional serta
bertanggung jawab. Pemilihan semacam ini kalau kita analogikan dalam bahasa
fikihnya, anggota DPRD bisa dianggap sebagai ahlul halli wal aqdi. Kalau
aturan mainnya jelas, ketakutan kita untuk kembali ke Orde Baru dengan sistem
seperti ini bisa dihilangkan.
Saya
yakin dan percaya apapun keputusanya, RUU Pilkada akan menjadi debatable.
Namun prinsip yang harus diambil dari ini semua adalah prinsip addharar
yuzal (kemudaratan harus dihilangkan), dan juga berlaku prinsip “mengambil
kemudaratan yang paling sedikit dari dua kemudaratan”. Selamat berwacana,
Indonesia Berpikir..!!!
Aidil Aulya
Ciputat, 26 September 2014
Ciputat, 26 September 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar