Rabu, 19 September 2012
Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial
Mendefinisikan mahasiswa secara
sederhana akan menafikan peranannya yang nyata dalam perkembangan arus bangsa.
Ketika kita mencoba menyederhanakan peran mahasiswa dengan mengambil definisi
‘setiap orang yang belajar di perguruan tinggi’, definisi itu akan menjadi
pembusukan esensi dari mahasiswa. Jadilah mahasiswa menjadi teralienasi dengan
kehidupan sosial, dan kampus menjadi belahan bumi lain dari tatanan bumi secara
global.
Mengingat sejarah panjang mahasiswa
dalam perannya membangun bangsa, seorang Indonesianis, Ben Anderson menyatakan
bahwa, sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Mengartikan bahwa pemuda
yang dimaksud disini adalah mahasiswa tentu akan lebih fair karena sejarah
menentukan seperti itu. Mengacu kepada moment penting cikal bakal penyatuan
asa kemerdekaan bangsa dalam sumpah pemuda, dinaungi oleh kaum intelegensia
dari berbagai daerah yang notabenenya mahasiswa. Maka menafikan perjuangan
mahasiswa dalam bangsa dan negara jelas sebuah distorsi sejarah yang sangat
menyakitkan. Karena bagi kita semua, sejarah masa lalu adalah cermin bagi masa
kini dan masa yang akan datang, dan sejarah adalah instrumen pokok untuk
merefleksikan diri menatap akar penyelesaian masalah bangsa hari ini.
Dari realitas yang terjadi hari ini,
kita bisa saja mengklaim bahwa mahasiswa sudah lepas dari esensi intelektual
dengan mengganti pola hidupnya menjadi hedonis, apatis, dan bahkan anarkis.
Bahkan lebih parah lagi, mahasiswa sudah lupa bahwa sifat khasnya mahasiswa
terletak pada kekuatan daya penalarannya, atau biasa disebut student power
of the reason. Maka bisa disebutkan bahwa mahasiswa masuk juga dalam
kategori pekerja otak (knowledge worker), yang nantinya akan menduduki
posisi strategis dalam menentukan arah bangsa ke depan.
Muhammad Hatta pada tahun 1957
pernah mengatakan bahwa, “kaum intelegensia tidak bisa bersikap pasif,
menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang
memimpin dalam negara dan masyarakat. Kaum intelegensia adalah bagian daripada
rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban”.
Pernyataan Muhammad Hatta tentang
posisi kaum intelegensia, menyadarkan bahwa dalam memainkan peran dan fungsi
kaum intelegensia tidak lepas dari pertanggungjawaban statemen yang dilempar
dikalangan publik secara luas. Pertanggungjawaban kaum intelegensia muncul
sebagai kontrol terhadap negara dan kekuasaan yang cenderung gagap dan mengubah
haluan menjadi pengerus intelektualitas masyarakat dan mengeksploitasi
masyarakat luas demi sebuah ilusi kekuasaan. Kaum intelegensia mempunyai
peranan yang double, sebagai masyarakat dan sebagai kaum terpelajar.
Oleh karena itu dengan sendirinya tanggung jawabnya juga menjadi lebih besar
karena memainkan dua peran sekaligus. Kaum intelegensia mempunyai kekuatan
dalam daya nalar dan keilmuannnya dalam menyelesaikan permasalahan bangsa.
Namun, unsur penting dari ilmu dan daya pikir itu adalah entitas nilai moral
yang harus dijunjung tinggi. Seperti yang disampaikan oleh KH. Idham Cholid,
bahwa ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu untuk diamalkan.
Pengamalan ilmu dan daya nalar
kritis mahasiswa untuk turut serta dalam penyelesaian masalah bangsa tidak
boleh dikebiri oleh lubang kenikmatan politik. Sangat dilematis ketika
mahasiswa dihadapkan pada tanggung jawab moral, tetapi dihadapkan pada lubang
syahwat politik. Dan akhirnya banyak juga yang terjebak untuk melacurkan daya
nalar keilmuannya untuk menggapai kepentingan pragmatis. Menelusuri jejak
intelegensia, P.D Boborykin pada tahun 1860-an, mengingatkan definisi kaum
intelegensia adalah “suatu strata sosial yang terdiri dari orang-orang yang
secara profesional terlibat dalam pekerjaan mental, terutama dalam bentuknya
kompleks, dan kreatif, dan dalam perkembangan serta penyebaran budaya”. Hanya
menurut Alvin Gouldner ada perbedaan yang tegas antara kaum intelegensia dan
kaum intelektual.
Di baratpun sejarahnya pernah
terjadi pengecaman terhadap “pelacuran intelektualitas” yang sudah terjebak
dalam kepentingan politis. Maka timbul dua jalur pemikiran, yaitu (1) pihak
yang menancapkan idealisasi fungsi intelektual yang tidak ada hubungannya
dengan kepentingan praktis, (2) pihak yang memandang bahwa intelektual
merupakan bagian dari aparatur Negara yang sarat dengan kepentingan praktis.
Dalam konteks eropa, terjadi pengecaman sosok intelektual yang telah melacurkan
diri, menjual integritasnya, kepada kelompok yang berkuasa, yakni aktivitas
praktis kaum intelektual eropa yang tunduk membantu fasisme, meninggalkan
moralitas liberal atau cita-cita borjuasi
seperti pertama berkumandang dalam revolusi Prancis, dua abad yang lalu:
kebebasan, persaudaraan, dan keadilan. Sehingga tipe ideal intelektual dalam
pandangan ini adalah golongan pemikir yang bijak yang duduk bermeditasi di
“puncak gunung es”, menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran universal dan abadi
dan tidak tersentuh oleh kekuasaan. Dengan kata lain, idealisme seorang
intelektual adalah bebas dari unsur politis dan kekuasaan, dan mengkritisi sistem
dari luar, ibaratkan seorang komentator yang menikmati pertandingan.
Namun yang terpenting, perlu
disadari bahwa pengkhianatan intelektual itu dilakukan oleh kaum intelektual
yang duduk manis jauh dari politik, dan hanya mampu mengkritisi tanpa terlibat.
Mereka hanya memandang realitas sosial secara normatif dan melabelisasikan
realitas sosial dengan norma halal – haram, boleh – tidak boleh, bahkan
melabelinya realitas sosial dengan sebuah kekafiran. Padahal kaum intelegensia
yang mayoritas dipegang oleh mahasiswa, harus mampu menjadikan realitas sosial
sebagai sebuah medan perjuangan dalam membangun karakter bangsa yang lebih
baik. Tentu mahasiswa harus melibatkan diri dalam tuntutan politis, asalkan
tetap dalam norma moral dan intelektual. Dengan tetap menjaga posisi sebagai agent
of social control, dan muncul sebagai kekuatan penyeimbang tirani yang
bersikap eksploitatif dan berlaku koruptif. Mahasiswa tidak perlu antipati
terhdap dunia politik. Politik adalah seni yang menjiwai bangsa ini. Ilmu
berposisi sebagai alat, sedangkan politik adalah medan pertarungan pengetahuan
dalam mengabdikan diri kepada agama, nusa dan bangsa. Ilmu serta politik
merupakan sebuah bagian yang terintegrasi dan digunakan sebagai sebuah semangat
perlawanan teerhadap musuh-musuh internal dan eksternal bangsa.
Ketika menyebut peran, politik
hanyalah arena dimana entitas sosial berinteraksi untuk memainkan
“kepentingan”. Yang disebut Erving Goffman dalam telaahnya bahwa manusia dalam
kehidupanya memainkan paradigma dramaturgis. Terkait dengan obyek dan subyek
politik dengan berintikan pandangan Goffman kehidupan diibaratkan teater,
interaksi sosial di atas panggung yang menampilkan permainan para aktor (baca;
para politisi) yang mengelola kesan (impression management) dengan sadar
atau tidak demi peningkatan status sosial, kepentingan finansial, dan politik
kekuasaan. Mahasiswa dengan balutan semangat kemandirian idealisme altruistik,
bisa menjadi solusi cerdas ketika menjadi landasan mental pergerakan kongkrit
sebuah pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat. Tetapi menjadi candu yang
membius bagi psikis masyarakat. Keterjebakan mahasiswa pada gaya hedonisme
memiliki dampak kausalitas terstimulasinya paradigma berpikir pada pola
kecenderungan ke arah pragmatisme oportunis.
Harusnya
mahasiswa cenderung memberi titik tekan pada ‘harus berani’ membangun
perombakan stigma bahwa politik adalah karir yang menjanjikan kesuksesan.
Stereotip yang terbangun memang, ketika seseorang mapan dalam politik, secara
otomatis nilai atau derajat sosio-ekonominya terangkat. Paradigma semacam ini
yang menstimulasi mahasiswa masuk ke kawah “berlumpur” kepentingan sesaat.
Persoalan tawaran politik atau
keterlibatan mahasiswa sebagai aktor suksesi politik jelas sangat naif ketika
disenyawakan dengan politik kerakyatan, terlebih lagi demi pengentasan
kemiskinan masyarakat yang semakin akut. Keterkaitan dengan rasionalisasi
karena sedikitnya antisipasi ideologi konservatif bukan lantas menjadi
barometer kebutuhan masyarakat terhadap program idealis dengan gawang
mahasiswa, lebih jauh, yang seharusnya concern
dan diperjuangkan adalah berfungsinya kontrol publik terhadap politisi sebagai
representasi rakyat.
Penterjemahan
kebutuhan pokok masyarakat tidak selesai hanya sebatas tafsiran sempit
mahasiswa apatah lagi “lacur ideologi” atau penjaja intelektual konservatif_
meminjam bahasa Antonio Gramscy_ ketimbang intelektual organik. Mahasiswa yang
cenderung masih embrional, meskipun sistematika keilmuannya diejawantahkan
sebagai program konkrit. Ada tiga tolok ukur garis perjuangan mahasiswa yang
harus disikapi dengan semangat pembelaan jika sebuah gerakan mahasiswa ingin
dijadikan sandaran masyarakat. Pertama, komitmen terhadap pembelaan rakyat. Hal
ini harus dibuktikan dengan etos intisari politik (bukan keaktifan sebagai
pelaku tetapi penyeru) sebagai garis determinan yang mencipta kemudahan-
kemudahan masyarakat dalam memperoleh hak- hak dasar kehidupanya. Taruhlah,
ketika kesulitan memenuhi hak- hak warga secara totalitarian, setidaknya ada
fokus garapan yang jelas. Yaitu pengawalan dan pemenuhan rangkaian kebutuhan
masyarakat tersebut di atas pada tingkatan basis terbawah. Sehingga konstituen,
atau masyarakat pemilih memiliki ikatan emosional yang merasakan manfaat atas
adanya peran perpolitikan. Sangat wajar, jika hal ini tidak terpenuhi,
demokrasi politik tidak kunjung sehat, sampai akhirnya nanti ada pemberontakan
dari masyarakat yang merasa terus menerus dijadikan obyek dan terekploitasi.
Termasuk apriori, apatis, dan sinisnya, bahkan sampai pengutukan masyarakat
terhadap gerakan mahasiswa.
Sulit
memang merindukan gerakan nasional mahasiswa yang begitu mendapat respon
simpatik masyarakat luas sebagaimana pernah terjadi pada tahun 1998. Dimana
ketika aksi, masyarakat secara serentak mengibarkan bendera setengah tiang.
Masyarakat bahu- membahu dan bergantian memberikan suntikan motivasi agar
gerakan mahasiswa bertahan, hingga akhirnya presiden Soeharto mengundurkan
diri. Ada keharuan dan air mata, sujud sukur, dan romantisme sejarah gerakan mahasiswa
beberapa tahun lalu, dan kini semua tinggal kenangan. Sulit menemukan momentum
dan kekompakan lagi karena sekarang hanya membawa kepentingan dan ego sekte
atau golongan.
Kedua,
memiliki mainstream
politik humanis sebagai esensi pemberdayaan masyarakat. Politik dengan
orientasi spiritual adalah solusi tunggal, menjadi penghilang dahaga dari
kehausan masyarakat. Terlepas dari jualan partai politik yang menjanjikan
surga- neraka atau berjamaah dalam kamuflase atau tidak, persoalan nurani
sangat penting sebagai gawang keberpihakan pada upaya perlawanan atas
ketidakadilan dan pemberdayaan sekaligus. Persoalan penindasan sistematis
maupun struktur tatanan masyarakat yang sampai sekarang menjadi sekat- sekat
dalam manifes kesenjangan sosial, nilai- nilai spiritual dari nurani keagamaan
menjadi ideologi yang lebih kongkrit. Persoalan adanya kebohongan publik atas nama
agama dengan kendaraan partai politik, justru memunculkan wilayah depan (front region) dan
wilayah belakang (back
region) yang semakin memperkuat analisis Goffman tentang kehidupan
sosial bahwa semua atribut hanyalah presentasi diri para elit, demi permainan
teaterikalnya.
Ketiga
adalah penyadaran. Dalam konteks penyadaran masyarakat, peran gerakan mahasiswa
cukup signifikan karena memiliki konstituen yang riil, dimana pada setiap level
pimpinan Gerakan mahasiswa memiliki garis hirarki yang terstruktur dan
sistematis. Maka proses penyadaran pada diri masyarakat atas hak- hak dan
kewajibanya merupakan manifes program politik yang selalu mengatasnamakan dan
demi kepentingan masyarakat. Penyadaran adalah proses yang secara periodik
memiliki fase perjuangan tujuan hampir semua partai dan elit politik yang
seringkali dilupakan karena terlena dalam asyik masyuk menempuh “jalan”
kekuasaan, yang kemudian bisa dipastikan lupa pada idealisme awal akibat rasa
kemanusiaan yang cenderung kemaruk (selfish).
Peranan yang besar dari kaum
intelegensia menjadikan komunitas kampus (baca: mahasiswa), menjadi sebuah
komunitas yang unik dan sexy untuk diperebutkan oleh elit polititk dan
orang-orang yang punya kepentingan dibalik pertarungan merebut “mahkota”
kekuasaan negara. Sehingga mahasiswa harus mampu mengolah permainan sehingga
tidak melulu terjebak dalam kepentingan praktis dan mengacuhkan norma nilai dan
moral. Pertanggung jawaban moral mahasiswa lebih luas dipahami sebagai tanggung
jawab sosial. Bagaimana mahasiswa memandang realitas sosial sebagai wadah
perjuangan dan tidak menafikan tanggung jawab intelektualnya sebagai orang yang
belajar dan menuntut ilmu sedalam-dalamnya. Ketika menjadi mahasiswa telah
gagal menapaki semangat idealisme pertanggungjawaban moral dan intelektual,
maka bisa dipastikan ketika keluar dari komunitas kampus, akan menjadi sampah
peradaban yang merusak tatanan nilai dan etika dalam bernegara dan
bermasyarakat.
Mahasiswa yang sadar akan
hakikatnya, tidak gampang terjebak dalam aksi yang bersifat temporer tanpa
konsepsi yang jelas menjangkau ke depan. Tidak mudah terjerumus ke dalam
aktifitas yang berorientasi pada kekuasaan dan vested interest. Tapi
tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemahasiswaan. Tidak henti-hentinya
mengabdikan diri kepada masyarakat langsung, demi tegaknya keadilan, kebenaran,
kejujuran, kemakmuran, dan penegakan hak-hak asasi. Inilah mestinya nilai-nilai
ruh perjuangan moral mahasiswa. Dalam hal kesarjanaan misalnya, kita harus
mampu member penegasan bahwa “penguasaan ilmu apa saja harus mempunyai faedah
nyata bagi peradaban kemanusiaan, baik ilmu agama, eksakta, sosial ekonomi. Dan
proses kesarjanaan itu belum selesai manakala tidak disertai dengan
tindakan-tindakan nyata bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian
yang tak henti-hentinya pada masyarakat”.
Kita juga tidak menafikan adanya
kelompok mahasiswa yang hanya menghabiskan waktu dengan pergolakan pencarian
jati diri, tanpa menghasilkan apa-apa. Dampak dari semua itu adalah tak lebih
dari kebodohan yang tertutupi dengan selembar ijazah, dan tergadai dengan
sendirinya ketika orang berbicara moral dan etika. Dengan penuh rasa miris dan
menyesakkan hati, mahasiswa hari ini hanya bisa mengenang euforia kenangan
sejarah kegemilangan pencapaian mahasiswa sebelumnya, dan tidak mampu menjadi
orang yang hidup dizamannya sendiri. Perlu dimunculkan jargon “kun ibna
zamanika (jadilah anak zamanmu)” sebagai sebuah kritikan mendalam terhadap
gerakan mahasiswa pasca reformasi.
Ciputat,
04 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar