Rabu, 12 September 2012
Pengkhianat(an) Politik
Judul
ini terinspirasi karena kemirisan hati melihat tingkah laku para politisi yang
busuk secara etika walaupun benar secara konstitusional. Mudah mengumbar janji
dan mudah juga untuk melupakan. Seperti lagu dangdut yang begitu melegenda
dikuping kita, kau yang berjanji, kau yang mengingkari. Hal ini tejadi karena
banyaknya para manusia politik yang dominasi dirinya terhegemoni dengan sifat
buruknya untuk mengumbar janji sebanyak-banyaknya dan kemudian mengkhianatinya.
Pembenaran secara konstitusi akan tetapi bobrok secara etika merupakan bukti
nyata bahwa ternyata konstitusi juga gagal dalam menaati norma dan etika (baca:
konstitusi tak beretika). Apabila ditarik lagi lebih jauh, siapa yang membuat
konstitusi tersebut? Jangan-jangan dibuat juga oleh orang yang etikanya
“bengkok”????
Secara sederhana kita bisa
mendefenisikan khianat dengan orang yan.g tidak menepati janji setelah dia
mengikrarkan janjinya. Defenisi sederhana tersebut membawa kita pada pemahaman
yang luas bahwa setiap apapun dan siapapun orangnya yang tidak menepati janji
maka dia bisa disebut pengkhianat. Janji itu adalah kesepakatan dua pihak atau
lebih. Seseorang tidak akan bisa berjanji sendirian. Adapun ketika berjanji
pada diri sendiri itupun pada hakikatnya adalah perjanjian antara jasmani dan
rohani. Dalam islampun ketika roh ditiupkan di dalam rahim ibu, kita sudah
mulai melakukan perjanjian pertama dengan Allah. Perjanjian manusia dengan
Allah itu dinukilkan dalam alqur’an surat al a’araf ayat 172.
“dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Inilah perjanjian pertama setiap
pribadi manusia terhadap Allah. Dapat disimpulkan, pada dasarnya setiap manusia
sudah melakukan perjanjian, dan berjanji adalah fitrah manusia. Diakhir ayat
ini Allah juga menyidir dan memprediksi sifat buruk manusia yang akan menyalahi
janji dan mencari pembenaran terhadap pengkhianatannya kepada janji Allah
tersebut. Allah mengatakan, “agar dihari kiamat kamu tidak megatakan:
“sesungguhya kami bani adam adalah orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan
Tuhan)”. Maka, mengkhianati janjipun adalah tabiat buruk manusia.
Kita baru berbicara tentang pribadi
manusia yang masih murni kemanusiaannya, belum lagi diembel-embeli dengan
manusia politik. Rumusnya sangat sederhana, semakin sesesorang mengharapkan
sesuatu dari orang lain, semakin banyak seseorang itu berjanji kepada apa yang
diharapkannya. Manusia yang tak lagi “utuh” sisi kemanusiaannya karena telah
dilabeli dengan manusia politik, tak disangkal lagi akan semakin banyak
mengumbar janji. Belum lagi dia menjadi manusia politik, bukankah tadi kita
telah sebutkan bahwa fitrah manusia adalah berjanji.?? Akan tetapi yang perlu
dan lebih perlu diingat adalah tabiaat buruk manusia juga tidak menepati janji
bukan????
Politik tidak pernah salah, karena
politik juga sunnatullah. Politik tidak untuk dimusuhi, tetapi harus dimanage
dengan baik sehingga tidak terjerumus dalam lubang kenikmatan semu hasil
politik. Mungkin kita semua pernah dengar oknum mahasiswa yang mengatasnamakan
agama lalu membenci politik. Tanpa sadar terkadang oknum yang mengatasnamakan
agama dan cenderung menjadikan dalih agama sebagai komoditas dagangan
organisasi dikampus pun secara tidak langsung menjadi alat politik bagi orang
yang memanfaatkan mereka. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap keberagamaan
mereka dan apa yang mereka yakini, kita harus mengatakan jangan hanya menjadi
alat partai politik tertentu. Itulah pentingnya pemahaman yang komprehensif
tentang politik. Jangan menelanjangi idealisme dengan membenci politik.
Politik sangat erat kaitannya dengan
masalah kekuasaan, kebijakan publik, dan alokasi, serta distribusi. Aristoteles
menganggap bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang
terbaik. Cukup panjang pembahasan para ahli dan pakar tentang definisi politik.
Akan tetapi yang jelas penulis memaknai politik adalah seni. Seni untuk
mendapatkan sesuatu. Memang ketika memaknai politik sebagai seni pun sifatnya
masih multi interpretasi. Tapi dibalik multitafsirnya itulah pemahaman politik
sebagai seni itu orang menjadi menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan
sesuatu yang diinginkannya. Termasuk seni mengumbar janji, seni berbohong, seni
pencitraan, dll.
Orientasi politik yang terfokus pada
kekuasaan akan membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
kekuasaan tersebut. Seorang filosof prancis, Albert Camus bersikap sinis
terhadap politik kekuasaan, namun memiliki pandangan yang positif terhadap
politik sebagai perjuangan. Etika politik dalam pemikiran Camus adalah
pengakuan terhadap komitmen perjuangan, keterlibatan tanpa henti, dan ketabahan
dalam perjuangan itu. Dari pernyataan Albert Camus yang menganggap etika dalam
politik adalah sebuah istiqomah dalam perjuangan, maka penulis mengistilahkan
politisi yang melacurkan dirinya demi kekuasaan semata sebagai pengkhianat
politik. Seorang pengkhianat politik akan berpolitik dengan cara mengkhianati
orang banyak.
Tidak jarang kita temukan politisi
kutu loncat yang nomaden dalam jabatannya. Pada awalnya mencalonkan diri
menjadi anggota DPRD, lalu terpilih. Belumlah masa jabatannya habis, sudah
pindah mencalonkan diri menjadi bupati/walikota. Malahan ada salah satu tokoh
yang track recordnya cukup mengkhianati konstituennya. Politisi kutu loncat
yang penulis maksudkan, menjadi anggota DPRD selama 7 bulan, lalu menjadi
Bupati 16 bulan, setelah itu menjadi anggota DPR RI 2,5 tahun. Dan sekarang
dengan dalih bermacam-macam, tanpa rasa malu dia menjadi calon wakil gubernur.
Fantastis memang jejak rekam politik pengkhianat ini. Pengkhianat politik yang
kita maksudkan disini tidak hanya tentang politisi kutu loncat saja. Politisi
yang bermental koruptif, ataupun yang sudah bertitel koruptor, adalah termasuk
pengkhianat juga. Karena korupsi bukan saja sebagai extra ordinary crime,
tetapi bisa dikategorikan dengan pelanggaram HAM berat (baca: kejahatan
kemanusiaan) seperti genosida. Gara-gara korupsi, ribuan masyarakat menjadi
kehilangan (baca: terbunuh) haknya. Bukankah ketika dulu waktu merebut simpati
konstituennya mereka menjanjikan yang baik-baik.?? Atau adakah politisi yang
berani jujur sewaktu kampanye, kalau ketika dia terpilih nanti dia akan
korupsi.?? Disanalah letak pegkhianatan yang dilakukannya. Mental dan perilaku
koruptif yang dilakukannya membuat konstituennya tersakiti hak-haknya.
Seharusnya mereka yang terpilih melakukan yang terbaik untuk memperjuangkan
kehidupan yang lebih baik untuk DAPIL dan kosntituennya, bukan sebaliknya.
Berdasarkan penelusuran penulis, di
dalam alqur’an terdapat 11 ayat yang menggunakan akar kata kha>na-yakhu>nu-khiya>natan.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, ada berbagai cerita menarik untuk kita pelajari
dan kita ambil i’tibar. Hal ini merupakan sebagai upaya pembanding untuk
mendeskripsikan keadaan para pengkhianat negeri ini. Sebagai contoh
perbandingan yang penulis maksud, kita bisa mulai membicarakan surat al anfal
ayat 27, “ya> ayyuha> alladzina amanu la takhunu allah wa arrasula wa
takhunu amanatikum wa antum ta’lamun”. Ayat ini sangat menarik bagi penulis
ketika kita bicara pada titik, pengkhianatan politisi dengan sikap koruptifnya.
Kita tentu masih ingat dengan statemen salah satu tokoh yang berasal dari salah
satu partai besar, yang mengatakan kalau dirinya terbukti dalam sebuah kasus
korupsi, maka dia siap “digantung di monas”. Penulis ‘curiga’, statemen ini
terinspirasi dari surat ayat ini. Dalam tafsir Ibnu Katsir kita bisa baca,
bahwa ayat ini berkenaan dengan seseorang yang bernama Abu Lubabah bin Abdul
Mundzir. Dia diutus oleh Nabi untuk menemui bani Quraizhah, sesampainya di
sana, Abu lubabah mengkhianati nabi. Lalu turunlah ayat ini. Abu lubabah sadar
dan segera bertaubat dengan cara mengikatkan diri pada sebuah tiang mesjid. Dia
bersumpah akan mengikatkan dirinya pada tiang tersebut selamanya dengan tidak
makan dan tidak minum sampai dia mati untuk menebus rasa berdosanya karena
telah mengkhianati nabi. Lalu Allah mengabulkan taubatnya, dan para sahabat
yang lain menyampaikan hal itu kepada Abu Lubabah. Akan tetapi Abu Lubabah
tetap tidak mau melepaskan diri dari tiang itu kalau bukan rasulullah yang
melepaskannya. Lalu rasulullah melepaskan ikatan itu dan memberi tahu bahwa
taubat Abu lubabah telah diterima oleh Allah. Peristiwa pengikatan diri oleh
abu lubabah pada sebuah tiang mesjid
terbut berlangsung selama 9 hari. Nah, inilah yang penulis maksud dengan
‘kecurigaan’ penulis. Abu Lubabah mengikatkan dirinya tentu karena rasa
bersalahnya karena telah mengkhianati Allah, Rasul, dan amanah yang diberikan
kepadanya. Lalu apakah tokoh yang penulis maksudkan ini sudah siap-siap
mengakui kesalahannya jika saja keterlibatannya terbongkar dengan cara
mengikatkan diri di monas sampai rakyat Indonesia memaafkan dan menerima
perlakuan koruptifnya.? Wallahu a’lam. Yang jelas dalam ayat ini berbicara
tentang larangan melakukan pengkhianatan. Jabatan dan kekuasaan adalah amanah
rakyat, maka salah dalam menggunakan amanah tersebut adalah bentuk
pengkhianatan yang akan dibalasi oleh Allah.
Perbuatan khianat secara
terang-terangan (politik nomaden jabatan) dan perbuatan khianat secara
sembunyi-sembunyi (bersikap koruptif), substansinya tetap sama. Substansi dari
kedua bentuk pengkhianatan itu adalah melanggar janji dan tidak menjalankan apa
yang dikatakannya. Penulis ingin mengingatkan dengan bersandar kepada surat al
hajj ayat 38, “innallaha la yuhibbu kulla khawwani kafur”, sungguh Allah
tidak menyukai orang yang berbuat khianat dan kafir. Penegasan khianat dalam
ayat ini adalah, orang yang berbuat khianat dalam perjanjian dan tidak
menunaikan apa yang dia katakan. Sedangkan kafir yang dimaksudkan dalam ayat
ini adalah pengingkaran terhadap berbagai nikmat dengan tidak menggunakannya
sebagaimana mestinya.
Kondisi ril wajah perpolitikan yang
kita temui adalah, musim kampanye adalah musim seni mengumbar janji. Janji yang
diucapkan para politisi yang ingin merebut hati konstituennya adalah sebuah
komitmen yang terikat dengan sebuah nilai. Setelah mereka mendapatkan jabatan
yang diinginkannya, sangat sedikit sekali yang bisa menunaikan amanah
jabatannya dengan baik, dan menunaikan amanah yang diberikan oleh
konstituennya. Dengan arti kata, politisi semacam itu telah kafir karena telah
mengingkari dan tidak menggunakan nikmat jabatan yang telah diamanahkan
kepadanya (bukan pemahaman kafir secara sempit). Memang perbuatan khianat yang
dilakukan terhadap konstituen tersebut tidak punya sanksi secara konstitusi.
Akan tetapi perbuatan itu telah melanggar sebuah nilai yang dibangun (trust),
dan sanksi nyata yang akan diterima adalah sanksi moral dan sanksi sosial.
Ketika dalam satu waktu, seorang
telah melakukan pengkhianatan politik, baik dengan nomaden kekuasaan, ataupun
dengan perbuatan koruptif yang dilakukannya, maka rusaklah kredibilitasnya
karena sanksi moral. Namun apabila perbuatan khianat itu dilakukan
berulang-ulang, sangat tercelalah bagi kita sebagai rakyat untuk kembali
mempercayainya. Sangat lebih tercela lagi adalah menjadi pendukung dan pembela
pengkhianat tersebut (ingat: anggota DPRD 7 bulan, Bupati 16 bulan, DPR RI 2,5
tahun.!!!). Celaan terhadap orang yang membela pengkhianat yang terbukti
berulang-ulang melakukan perbuatan itu bisa kita baca dalam surat an nisa’ ayat
107. Kata-kata khawwanan atsima, artinya berulang-ulangnya pengkhianatan
dan dosa yang dilakukan. Sedangkan yakhta>nu>na artinya orang yang
sengaja dan tekun serta terus menerus mengkhianati dirinya. Pada hakikatnya,
mengkhianati orang lain sama dengan mengkhianati diri sendiri. Walau serapat
apapun perbuatan khianat itu dilakukan, namun Allah mengetahui semuanya, ya’lamu
kha>>>>>>>inati al a’yuni wa ma> tukhfi as sudhur
(surat mukmin ayat 19). Setiap pengkhianat akan terbongkar pengkhianatannya,
kenyataan mengajarkan kepada kita, biasanya yang paling pertama meninggalkan
pengkhianat ketika hampir terbukti pengkhianatannya, adalah bekas
pembela-pembela pengkhianat tersebut (ingat peristiwa jatuhnya raja ORBA).
Penting rasanya untuk membuat sebuah
konsensus nasional yang benar-benar mengatur etika politik secara esensial dan
sarat nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. Akan tetapi banyak pengamat
politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak
di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik
adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang
ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan
umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika
politik bisa berbicara?
Kalau orang menuntut keadilan,
berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society,
membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika
politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama,
betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi.
Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai
hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik
bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi
korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban.
Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes
terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik
yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan
kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran
akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini
tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan
"perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak
bisa diabaikan begitu saja. (wallahu a’lam).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar