“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan” - Immanuel Kant - "sebuah catatan ringan buah peradaban." by: Aidil#

Minggu, 28 Oktober 2012

Nasionalisme yang Belum Selesai


Nasionalisme merupakan hal yang absurd di tengah kemajemukan dan pluralitas bangsa Indonesia. Berbagai ideologi yang pernah ada dari mulai berdirinya negara tidak mampu menjadi perekat secara nyata nasionalisme kebangsaan. Pencarian jati diri bangsa ini sangat panjang dan penuh dengan kompleksitas permasalahan sejarah yang terkadang menjadi luka sejarah ketika diuraikan. Ideologi komunis pernah ada dan terbukti gagal. Pemberontakan atau makar terhadap kedaulatan negara atas nama ideologi keagamaan pun juga  tidak berhasil. Sehingga pilihan terakhir jatuh kepada pancasila sebagai ideologi filosofis alternatif bangsa ini. pancasila mungkin sudah final dalam term diskursus filosofis perekat bangsa, tetapi masih perlu dikaji dalam realitas yang terjadi akhir-akhir ini.
Pembentukan suatu bangsa tidak dimulai dengan adanya negara. Tetapi sebaliknya, pembentukan suatu negara dimulai dengan terbentuknya suatu bangsa. Genealogi suatu bangsa dimulai dari tataran yang paling sederhana. Maka, bangsa lebih dahulu daripadanya negara. Hal yang paling mendasar dari pembentukan suatu bangsa adalah ikatan emosional kekeluargaan. Perkembangan keluarga kecil menjadi keluarga besar pada akhirnya akan menjadi sebuah suku (tribe). Ikatan yang tadinya hanya berdasarkan keluarga kecil, berkembang menjadi ikatan kolektif keluarga besar. Hal ini menjadikan seorang anggota suku begitu sangat loyal terhadap sukunya karena tingginya ikatan emosional yang terlahir by nature.

Dalam tataran tingkatan suku yang masih murni dan belum bercampur dengan suku lain, tentu setiap permasalahan akan mudah teratasi. Akan tetapi permasalahan muncul ketika satu suku berinteraksi dengan suku lainnya. Pernyelesaian masalah karena terjadinya interaksi antar suku inipun menjadi sangat kompleks karena adanya perbedaan kultur dan ikatan emosional yang tidak begitu kuat. Namun, ketika setiap suku bangsa ini menyadari bahwa mereka selalu akan berinteraksi dengan suku lainnya, dan setiap manusia tidak mungkin hidup selamanya dengan komunitasnya sendiri, maka adanya kesadaran tahap awal untuk mengecilkan ego kesukuan dan mulai menata traktat sederhana lintas kultur dan suku. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya komunitas yang lebih besar, setiap suku yang berinteraksi dengan suku lainpun akan selalu menghormati traktat yang dibuat untuk tidak terjadi perang antar suku, etnis, dan ras.
Interaksi sosial antar suku atau lintas kultur ini semakin luas. Fenomena yang paling menarik bagi perjalanan sejarah bangsa ini adalah munculnya kesadaran kolektif yang berbagai suku bangsa untuk menyatukan ide satu kebangsaan. Peristiwa ini dicatat dalam sejarah sumpah pemuda. Bagi saya, peristiwa sumpah pemuda tidak hanya dimaknai sebagai ikrar kesatuan bangsa lintas suku atau lintas kultural saja. Tetapi peristiwa sumpah pemuda merupkan simbol matinya egoisme kesukuan dan puncak kesadaran antar suku bangsa untuk membangun komunitas kekeluargaan yang lebih besar. Tentu kita juga tidak bisa menyembunyikan fakta, bahwasanya peristiwa inipun dilandasi oleh perasaan senasib dan sepenanggungan untuk melawan imperialisme. Pada akhirnya perasaan kesadaran untuk mematikan simbol ego tribalism ini menjadi lahirnya kesamaan cita-cita dan menjadi modal berharga untuk sama-sama memperjuangkan cita-cita tersebut. Hal tersebut termanifestasikan dengan deklarasi negara Indonesia.
Dari fenomena genealogi lahirnya negara dalam pemahaman singkat tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang mengikat suatu bangsa menjadi sebuah Negara. Pertama, tribalisme yang berkembang menjadi nasionalisme; kedua, cita-cita untuk hidup bersama dan membangun komunitas yang lebih besar. Untuk membuktikan dua hal ini kita harus mengacu kepada kilas balik sejarah pembentukan bangsa. Hal yang pertama, munculnya rasa nasionalisme yang diawali dengan tribalisme tidak berlaku di Indonesia. Karena Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang sangat majemuk, maka tidak mungkin satu suku bisa membuat satu cita-cita yang diyakini benar oleh suku lainnya karena hasilnya pasti sangat subjektif. Menurut saya, Indonesia terlahir dari  ikatan yang didasari atas dasar cita-cita untuk hidup bersama dan membangun komunitas yang lebih besar. Prinsip keterikatan kebersamaan dalam satu cita-cita ini sudah lintas etnis, ras, suku, dan ideologi keagamaan. Kemerdekaan bangsa ini menjadi bukti yang tidak terbantahkan dari rasa kebersamaan tanpa menimbang ideologi tertentu ataupun ras tertentu. Titik kulminasi kesadaran kolektif yang mematikan ego suku dan ideologi menjadikan bangsa ini menjadi sebuah negara kesatuan dalam kenyataan pluralitas yang begitu tinggi.
            Rasa kesukuan juga bisa disebabkan oleh idealisme dan ideologi. Hal ini bentuk kesukuan yang merupakaan hasil dari evolusi suku yang terbentuk dari rasa kekeluargaan. Ideologi agama misalnya, bisa menjadi sebuah kekuatan besar dalam membentuk komunitas tertentu. Kesukuan dalam bentuk seperti inipun bisa diredam oleh founding fathers kita dalam pembentukan negara. Dalam perumusan principal ideology bangsa yang termanifestasikan dalam pancasila, bisa kita pahami sebagai konfrontasi antara ideologi keagamaan dan ideologi kebangsaan dalam wujud nasionalisme sudah selesai. Namun, itu baru sebatas principal ideology tertulis yang masih belum selesai dalam realitas sosial yang berkembang dimasyarakat. Pancasila belum mampu menjadi pengikat mindset dan mainstream seluruh bangsa untuk membangun bangsa sebagaimana yang dicita-citakan oleh the founding fathers kita.
 Pengejawantahan nilai-nilai pancasila yang begitu mengkristal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu mendapatkan tantangan dari ideologi tertentu. Tantangan itu berasal dari tribalisme dalam bentuk sederhana (suku, ras, etnis, dan daerah), ataupun tribalisme dalam bentuk yang berbeda (ideologi agama). Maka tidak heran kita lihat terjadinya konflik horizontal atas nama agama dan atas nama ideologi tertentu. Seharusnya ketika kita menjadikan pancasila sebagai mindset nasionalisme yang utuh dalam wujud nyata dalam berinteraksi sosial, tidak akan lagi terjadi tawuran ideologi. Bagi saya, pengejawantahan nilai-nilai pancasila adalah proses memanusiakan manusia Indonesia. Sehingga apabila terjadi konflik atas nama agama dinegara pancasila, maka pihak yang berkonflik menuju proses dehumanisasi bagi diri dan kelompoknya sendiri. Kekerasan atas nama agama dan keyakinanpun menjadi sangat tidak manusiawi. Prinsip ritualitas yang didasarkan pada gerakan simbolik dan sangat kering substansinya terbukti tidak bisa diterima oleh masyarakat plural.
Gerakan simbolitas keagamaan yang begitu kuat menjadikan rasa nasionalisme menjadi terkikis secara perlahan. Alternatif terbaik yang harus dimunculkan dalam proses spritualitas kebangsaan bukan menjadi agama sebagai simbol. Tetapi harus menjadikan keyakinan ideologi dan teologi keagamaan sebagai substansi gerakan nasionalisme kebangsaan. Dalam hal ini, apapun agama dan keyakinannya akan mengarah pada kesatuan ikatan karena faktor kemanusiaan. Makanya, kelompok yang selalu menjadikan agama hanya sebatas simbolitas dan membuat kekerasan dan konflik diragukan nilai kemanusiaan dan nasionalismenya. Terjadi anomali ketika suatu masyarakat memahami konsep pancasila setengah hati, dan konsep agama dengan pemahaman yang tidak komprehensif. Pilihan pancasila mengharuskan manusia Indonesia mempunyai karakter multi loyalties. Loyal terhadap suku, ras, etnis, agama, dan juga loyal terhadap bangsa dan negara. Karena pilihan sebagai negara pancasila serta merta membawa konsekwensi tersebut.
Perlu adanya pikiran yang mendalam bagi sekelompok orang yang mengikis nilai-nilai pancasila. Mereka tidak lagi menjadikan pancasila sebagai nasionalisme. Pertanyaan yang muncul untuk orang-orang seperti ini (“latah” menggunakan simbolitas perjuangan khilafah Islamiyah) adalah, apakah agama masih menjadi sumber loyalitas masyarakat? Saya pikir ini tidak perlu dijawab dengan deskriptif. Lihat saja konflik yang terjadi antara negara muslim dengan negara muslim lainnya. Kalau memang sumber loyalitas itu adalah doktrin keagamaan, maka negara yang sama-sama muslim ini tidak akan berperang. Sebagai contoh nyata juga, dalam politik ternyata dibuktikan juga bahwa agama tidak lagi menjadi daya pengikat yang kuat. Begitu banyak partai yang membuat simbolitas pergerakannya dengan symbol keagamaan, toh ternyata tidak pernah muncul sebagai kekuatan besar yang menang mutlak dalam pemilu. Ini membuktikan bahwa agama sekarang bukan menjadi daya pengikat yang kuat. Pengikat yang kuat adalah nilai-nilai kemanusiaan yang termanifestasikan dalam pancasila.
Ditengah ancaman globalisasi yang membuat batas-batas negara menjadi kabur (borderless), kita sebagai bangsa Indonesia harus kembali memaknai nasionalisme dalam kompleksitas sejarah perjuangan bangsa. Harusnya negara yang dibangun dari perjuangan akibat kesatuan tekad multi kultur dan multi ideologi menjadi bangsa yang kuat nasionalismenya. Kita bukanlah negara yang merdeka tapi tetap menjadi negara pesemakmuran negara lainnya. Perjuangan bangsa ini harus diikuti dengan tingginya nasionalisme pancasilais yang terbukti mampu menjadi pengikat diawal pendirian negara. Sedangkan bagi negara pesemakmuran, nasionalisme menjadi hal yang sangat kecil karena mereka tidak merasakan perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Jangan mengkhianati sejarah tetesan darah para pejuang bangsa dengan melakukan gerakan simbolitas keagamaan yang akan menyebabkan disintegrasi bangsa. Cukuplah orang yang bermental “sampah peradaban” yang terus dikungkung oleh kebodohan pemahaman mereka. Karena pada sistem negara modern, kita tidak mungkin untuk melawan politik. Politik harus dijadikan alat menuju nasionalisme pancasila yang lebih baik. Tugas partai politik tidak hanya menciptakan politisi, tetapi juga harus menciptakan negarawan. Tugas organisasi mahasiswa juga harus berani menyiapkan kader bermental negarawan, dan jangan menjauhi politik.


Ciputat, 27 Oktober 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver